Jumat, 19 April 2013

Pokok-Pokok Gerilya karya Jendral A. H. Nasution



            Buku pokok-pokok gerilya karya Jendral Abdul Haris Nasution ini terbit untuk pertama kali pada tahun 1953. Banyak penulis militer dan ahli strategi mensejajarkan nama Nasution dengan Mao Tse Tung, Grivas, Vo Nguen Giap, Roger Trinquier dan Che Guevara. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat strategi dan taktik perang gerilya yang dicetuskan Nasution ini lah Indonesia dapat mengalahkan Belanda yang bersenjata modern dalam perang kolonial II pada tahun 1948-1949. Buku Pokok-Pokok Gerilya karangan Jendral A. H. Nasution ini juga cukup banyak mendapat perhatian dari dunia luar seperti Amerika, Jerman dan Mesir.
Dalam bukunya, Jendral Abdul Haris Nasution atau yang biasa lebih dikenal dengan A. H. Nasution telah banyak memberikan penjelasan yang detail mengenai perang gerilya. Aspek-aspek perang yang mendapat perhatian penting dalam perang gerilya dan merupakan komponen dalam membentuk perang total adalah sebagai berikut : Perang psikologis, yaitu situasi dan kondisi perang dimana salah satu pihak berusaha untuk melemahkan bahkan berusaha untuk meruntuhkan moril lawan sebelum perang sesungguhnya dimulai, sedang di lain pihak berusaha memperkuat dan memperteguh semangat rakyatnya sendiri. Selanjutnya adalah perang politik, yaitu perang  yang berusaha untuk mengurangi jumlah sekutu  dari pihak musuh dan dan memperbanyak musuh musuhnya, dan berbuat sebaliknya untuk diri sendiri.  Selanjutnya adalah perang ekonomi yang berusaha menghancurkan alat-alat dan sumber produksi musuh agar kekuatan mereka menjadi berkurang, dan sembari menghancurkankan produksi lawan maka harus berusaha memperbaiki ekonomi diri sendiri. Pada dewasa ini, perang tidak lagi didominasi oleh ilmu perang yang khusus berkaitan dengan strategi, taktik, dan logistiknya  saja, melainkan melibatkan pula apek politik militer, politik, psikologis, dan sosial ekonomi. Perang bukan lagi menjadi dominasi militer belaka akan tetapi juga politik dan ekonomi. Pimpinan perang bukan lagi yang ada di medan militer saja, akan tetapi medan medan seluruh aspek kehidupan. Syarat-syaratnya tidak lagi tentang pemahaman di dunia kemiliteran, akan tetapi juga pengetahuan yang baik di bidang politik, militer, dan ekonomi.
Perang Gerilya yang terjadi di Indonesia melawan agresi militer Belanda dalam rentang tahun 1947-1949-an memiliki kejadian yang sama dengan apa yang telah terjadi di Amerika Serikat dan Rusia. Dalam tempo yang singkat Belanda merebut kota penting dan jalan jalan utama di pulau Jawa. Otomatis serangan tersebut memukul  mundur tentara tentara Republik Indonesia. Akan tetapi, ending dari agresi Belanda tidak sama dengan apa yang telah terjadi pada Amerika Serikat dan Rusia. Pada saat itu, perang Gerilya yang dilancarkan oleh pasukan Indonesia tidak berfungsi sebagaimana yang dicontohkan oleh dua Negara tadi, melainkan berfungsi untuk membuat Belanda jenuh dan bosan dengan perlawanan yang tiada akhir. Selain itu, Indonesia melalui diplomat-diplomatnya berhasil memenangkan perang politik di luar negeri sehingga dunia Internasional mengecam dan menekan Belanda untuk menghentikan agresi militernya terhadap Indonesia. Perang Gerilya yang dilakukan Indonesia menunjukkan fungsi lainnya yaitu untuk membuat pihak lawan jenuh, frustasi, dan tidak berhasrat untuk melanjutkan peperangan. Perang gerilya Indonesia saat melawan aggressor Belanda menekankan defensive perang gerilya yang sifatnya hanya menahan serangan musuh.
Dengan membaca Pokok-Pokok Gerilya karya Nasution ini sangat besar kemungkinan semangat nasionalisme para pembaca akan berkobar kembali walaupun saat ini sudah berbeda zaman. Dari buku ini pula kita dapat mengetahui tentang perang gerilya sekaligus perjuangan rakyat Indonesia langsung dari sumber atau saksi atau pelaku perjuangan tersebut. Penulisan buku ini sangat Indonesiasentris dimana buku ini termasuk ke dalam historiografi masa revolusi. Adapun ciri-ciri historiografi masa revolusi adalah penulisannya bersifat Indonesiasentris bukan Eropasentris, banyak biografi dari tokoh maupun pahlawan nasional yang diterbitkan, tulisan merupakan ekspresi dalam semangat nasionalistis yang berkobar-kobar dalam periode post revolusi, tokoh-tokoh nasional menjadi simbol kenasionalan serta menjadi indentitas bangsa yang menghilang pada masa kolonial.
Sejarah pada zaman revolusi ini terjadi ketika Indonesia mulai adanya pergerakan untuk mencapai suatu kemerdekaan. Penulis sejarah pada masa pergerakan ini adalah dalam rangka pencarian subyektifitas dari peristiwa sejarah masa lampau. Masa lampau dipelajari bukan hanya untuk pengetahuan semata, tapi juga demi suatu peristiwa yang bisa dijadikan pelajaran pada masa sekarang. Karena peristiwa sejarah itu memiliki keistimewaan yaitu peristiwanya terjadi hanya satu kali saja. Jadi dalam menggali kembali sejarah masa lampau harus benar-benar teliti supaya tidak terjadi kerancauan di kemudian hari.

Sejarah Sumatra karya William Marsden



Buku Sejarah Sumatra karya William Marden adalah karya klasik mengenai salah satu pulau utama di Indonesia yaitu Sumatera. Willian Marsden seorang pegawai kongsi dagang Inggris EIC (East India Company) yang bertugas di Bengkulu berupaya memadukan hasil penilaian berdasarkan sumber-sumber tulisan berupa laporan-laporan maupun wawancara serta kunjungan ke beberapa tempat di Sumatra. Sejak pertama kali terbit pada 1783, buku Sejarah Sumatra telah memukau dan dipujikan sebagai karya jempolan. Walaupun sesudahnya banyak buku tentang Sumatra terbit, namun karya William Marsden ini tetap istimewa serta dirujuk sejagat sebagai karya klasik yang monumental.

Buku Sejarah Sumatra berbeda dari kebanyakan karya tulis pada umumnya, dimana biasanya suatu buku yang berisi tentang sejarah suatu tempat lebih memfokuskan pada kerajaan, pemerintahan, ataupun orang-orang penting / orang-orang golongan atas saja. Sedangkan dalam buku Sejarah Sumatra karya William Marsden ini rakyat biasa di pedesaan-pedesaan juga dibahas oleh William Marsden. Seperti yang terdapat pada bab 21 halaman 482, dimana William Marsden menjelaskan tentang penduduk, mata pencaharian, navigasi dan alat tukar secara terperinci. William Marsden dalam menulis buku Sejarah Sumatra berbeda dengan penulis-penulis lain pada zaman itu. Seperti yang diungkapkan oleh dosen sekaligus peneliti sejarah yang saya kagumi Rhoma Dwi Aria Yulianti, dalam tulisannnya di belajarsejarah.com beliau mengungkapkan Marsden membuat catatan Sumatra secara ensiklopedik dengan liputan pandangan mata dan laporan investigasi.[1] Melalui buku Sejarah Sumatra ini kita dapat mengetahui tentang Sumatra secara mendalam. Walaupun karya ini terbit pada tahun 1783 tapi isi dalam buku ini terus terasa modern.

Sumatra secara terperinci dijelaskan oleh William Marsden dalam bab perbab di buku Sejarah Sumatra. Bab 1 menceritakan tentang Deskripsi umum pulau Sumatera; letak dan garis bujurnya, penelitian Kuno mengenai Sumatera, jarak dan pegunungan, air terjun danau laut dan sungai, udara dan angin, guntur dan kilat, musim, angin laut, produksi mineral, gunung berapi, tanah, pembentukan daerah baru dan batu karang serta ombak pasang. Pada Bab 2  William menjelaskan tentang perbedaan penduduk yang terdiri sari deskripsi penduduk, pakaian dan ornamen, dan mengasah gigi serta melubangi telinga. Bab 3 tentang Infrasruktur dan kehidupan sehari hari yaitu tata cara membangun, api dan makanan. Pada Bab 4 disajikan tentang Kekayaan Alam Sumatera yaitu hasil pertanian, sawah, komoditi perdagangan, rempah-rempah, dsb. Bab 5 menjelaskan tentang aneka varietas dunia flora. Bab 6 tentang keanekaragaman dunia fauna. Bab 7 tentang komoditas perdagangan dan hasil perkebunan. Bab 8 tentang Kekayaan Alam dan perdagangan impor. Bab 9 tentang Keahlian orang Sumatera. Bab 10 tentang bahasa dan abjad. Lanjut ke Bab 11 tentang Sosiologi masyarakat Sumatera. Bab 12 tentang adat istiadat dan hukum adat. Bab 13 tentang hukum adat dan perbudakan. Bab 14 tentang pernikahan, perayaan, perjudian dan opium. Bab 15 tentang tradisi orang Sumatera. Bab 16 tentang Lampung. Bab 17 tentang perbedaan penduduk. Bab 18 tentang Negara-negara Melayu . Bab 19 tentang kerajaan-kerajaan di tepi sungai. Bab 20 tentang Batak. Bab 21 tentang Aceh. Bab 22 tentang Sejarah kerajaan Aceh dan Bab terakhir, Bab 23 tentang gugusan pulau di pantai barat Sumatera.

Dengan kelebihan buku ini, dengan segala kerincian dan kelengkapan William Marsden dalam menyampaikan Sumatra yang sangat membantu para sejarawan, disisi lain buku Sejarah Sumatra ini jika kita dalam membacanya tidak teliti atau jeli mungkin akan sedikit kesulitan dalam mencerna isi dalam buku ini dikarenakan penyampaian William Marsden dalam beberapa bagian terlalu panjang dan berbelit serta tulisannya yang bergaya sastra mendekati dongeng secara tidak langsung menuntut kita agar lebih jeli dalam membaca buku Sejarah Sumatra ini.








[1] http://belajarsejarah.com

Babad Tnah Jawi karya W. L. Olthof



Pada dasarnya, babad adalah karya tulis yang menceritakan tentang pendirian sebuah Negara (Kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.[1] Hal yang sama tampaknya juga berlaku dalam Babad Tanah Jawi. Babad ini ditulis oleh Mataram dan isinya berkisar tentang silsilah raja-raja Mataram. Khususnya dalam buku ini, sejarah Jawa dipaparkan dengan menarik garis silsilah awal Nabi Adam AS, kemudian dilengkapi dengan silsilah dewa-dewa agama Hindu, tokoh Mahabharata, cerita Panji di Kediri, hingga berakhir pada masa Kartasura, tepatnya saat terjadi perselisihan antara Raja Kartasura dengan Pangeran Purbaya dan Sultan Blitar yang masih sedarah. Menurut perkiraan penyusunnya, peristiwa ini terjadi di sekitar tahun 1647.[2]
Babad pada umumnya dikenal dengan arti membabat hutan atau membuka lahan. Penulisan babad sendiri lebih berkaitan dengan pembukaan lahan. Pada buku Babad Tanah Jawi ini misalnya, buku Babad Tanah Jawi ini berisi narasi pembukaan lahan di Jawa yang kemudian memunculkan tuan tanah atau raja di daerah tersebut yang mana nantinya akan menjadi penguasa secara turun temurun di daerah tersebut. Kemudian daerah tersebut berkembang dan menjadi pusat pemerintahan yang secara otomatis akan membuat pemilik lahan atau tuan tanah atau raja di daerah tersebut menjadi terikat atau menjadi bagian dari sejarah daerah tersebut.
Melalui buku Babad Tanah Jawi kita dapat mengetahui ataupun mengidentifikasi peristiwa-peristiwa sejarah pada waktu itu. Hal ini didasarkan pada isi buku Babad Tanah Jawi yang berisi kisah kerajaan beserta Raja dan segala isinya pada waktu itu, seperti asal muasal tanah Jawa sampai berdiri dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa. Babad Tanah Jawi tergolong karya sastra sejarah karena di dalamnya menceritakan suatu peristiwa, perkembangan suatu daerah dan juga terdapat silsilah-silsilah penguasa. Babad Tanah Jawi ini termasuk historiografi tradisional. Dalam penulisan sejarahnya, Babad Tanah Jawi berisi cerita pada zaman Hindu Budha dan Islam.
Dalam Babad Tanah Jawi penulisan sejarahnya bersifat religio sentris yaitu ceritanya dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga istana) yang sering disebut istana sentris, keluarga sentris atau dinasti sentris. Selain itu juga bersifat feodalistis-aristokratis, dimana yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Religio magis, dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal gaib. Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata. Penulisan sejarahnya ditujukan untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja. Region-sentris (kedaerahan), banyak dipengaruhi daerah, cerita-cerita gaib dan juga cerita-cerita dewa dari daerah tersebut. Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma  (bertuah, sakti).[3]
Dari Babad Tanah Jawi dapat diketahui bahwa erat hubungannya dengan unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif dan metologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan uraian peristiwa pada masa lampau. Melalui Babad Tanah Jawi kita bisa melihat dan atau mengetahui seperti apa sebenarnya historiografi tradisonal itu. Begitu juga sebaliknya, ketika kita sudah mengetahui seperti apa historiografi tradisonal itu maka kita menjadi lebih bisa mempelajari dan memahami historiografi tradisonal tersebut melalui Babad Tanah Jawi.
Berdasarkan buku Babad Tanah Jawi kita dapat melihat atau berpendapat bahwa historiografi yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi menyampaikan nilai fakta maupun fiksi. Nilai fiktif tersebut dapat kita lihat melalui mitos tentang struktur pemerintahan raja di kerajaan-kerajaan Jawa. Menurut Sartono Kartodirdjo, mitos mempunyai fungsi untuk membuat masa lampau bermakna, biarpun dalam mitos tidak ada unsur waktu, juga tidak ada masalah kronologi, tidak ada masalah awal dan akhir.[4] Hal ini dapat dilihat pada Babad Tanah Jawi semisal tentang Jaka Tingkir dan prosesnya menjadi raja di kerajaan Pajang. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa mitos dan simbol memainkan peran penting dalam historiografi Jawa.
Dengan melihat, membaca dan memahami buku Babad Tanah Jawi, sekali lagi kita dapat mengetahui bahwa Babad Tanah Jawi tersebut termasuk kedalam historiografi tradisional, dimana historiografi tradisional itu sendiri adalah historiografi yang diidentifikasi sebagai produk ketika sejarah ditulis dalam tradisi besar masa lalu yang belum membedakan antara realitas dengan legenda ataupun mitos.[5] Babad Tanah Jawi sebenarnya adalah karya sastra, karya sastra yang kemudian masuk ke dalam sejarah atau lebih tepatnya karya sastra sejarah karena isinya yang mengandung sejarah pada masa itu. Sebuah karya satra telah menjadi bagian yang integral dengan sejarah sebagai sebuah tradisi. Oleh sebab itu sebagai sebuah tradisi, paling tidak ada empat fungsi utama dari karya-karya sastra seperti itu. Pertama, sebagai alat dokumentasi. Kedua, sebagai media untuk transformasi memori antar generasi. Ketiga, sebagai alat untuk membangun legitimasi. Keempat, sebagai bentuk ekspresi intelektual. Walaupun kebenaran dari cerita sejarah yang terdapat dalam Babad tanah Jawi tersebut masih pantas untuk dipertanyakan, tetapi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mempergunakan Babad Tanah Jawi sebagai referensi sejarah dikarenakan keterbatasan sumber sejarah pada masa itu.
Seperti historiografi tradisional pada umunya, tulisan atau isi atau narasi Babad Tanah Jawi  bersifat istana sentris atau menceritakan raja dan atau keluarga raja pada masa itu. Saat bercerita tentang raja dan atau keluarga kerajaan pasti cerita tersebut mengunggulkan yang diceritakan atau yang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut. Dari hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa pada penulisan Babad Tanah Jawi terselip maksud dan tujuan untuk digunakan sebagai alat legitimasi raja yang berkuasa dan memberi nialai-nilai tambah pada raja yang menjadi tokoh utama dalam karya satra ini. Garis silsilah raja yang diambil mulai dari Nabi Adam AS sampai dewa dewi agama hindu budha dan tokoh pewayangan merupakan suatu bukti bahwa walaupun memang ada cerita yang bersumber dari kenyataan tetapi ada juga yang hanya ingin menggapai legitimasi yang sebesar-besarnya oleh karena itu penggunaan Babad Tanah Jawi sebagai sumber penulisan sejarah harus menggunakan berbagai macam bukti-bukti pembanding.



Sumber:
W. L. Olthof (penyusun) H. R. Sumarsono (alih bahasa), Babad Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi, 2011
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia, 1982
Bambang Purwanto, Gagalnya Hiistoriografi Indonesiasentris?!, Yogyakarta: Ombak, 2006
http://www.sentra-edukasi.com/



[1] W. L. Olthof (penyusun) H. R. Sumarsono (alih bahasa), 2011, Babad Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi. Hal v
[2] W. L. Olthof (penyusun) H. R. Sumarsono (alih bahasa), 2011, Babad Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi. Hal vi
[3] http://www.sentra-edukasi.com/
[4] Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif. (Gramedia : Jakarta, 1982), hal 16
[5] Bambang Purwanto. Gagalnya Hiistoriografi Indonesiasentris?!, (Ombak : Yogjakarta, 2006), hal.98

Nyadran



Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritual ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritual dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo.
Secara sosio-kultural, implementasi dari ritual nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama. Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, tetua desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda. Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat (sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram. Nyadran dalam konteks Indonesia saat ini telah menjelma sebagai refleksi, wisata rohani kelompok masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat, yang disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga sekaligus (terkadang) sampai mengabaikan religiusitas, melalui nyadran, seakan tersentak kesadaran hati nuraninya untuk kembali bersentuhan dan bercengkrama dengan nilai-nilai agama: Tuhan.