Jumat, 19 April 2013

Babad Tnah Jawi karya W. L. Olthof



Pada dasarnya, babad adalah karya tulis yang menceritakan tentang pendirian sebuah Negara (Kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.[1] Hal yang sama tampaknya juga berlaku dalam Babad Tanah Jawi. Babad ini ditulis oleh Mataram dan isinya berkisar tentang silsilah raja-raja Mataram. Khususnya dalam buku ini, sejarah Jawa dipaparkan dengan menarik garis silsilah awal Nabi Adam AS, kemudian dilengkapi dengan silsilah dewa-dewa agama Hindu, tokoh Mahabharata, cerita Panji di Kediri, hingga berakhir pada masa Kartasura, tepatnya saat terjadi perselisihan antara Raja Kartasura dengan Pangeran Purbaya dan Sultan Blitar yang masih sedarah. Menurut perkiraan penyusunnya, peristiwa ini terjadi di sekitar tahun 1647.[2]
Babad pada umumnya dikenal dengan arti membabat hutan atau membuka lahan. Penulisan babad sendiri lebih berkaitan dengan pembukaan lahan. Pada buku Babad Tanah Jawi ini misalnya, buku Babad Tanah Jawi ini berisi narasi pembukaan lahan di Jawa yang kemudian memunculkan tuan tanah atau raja di daerah tersebut yang mana nantinya akan menjadi penguasa secara turun temurun di daerah tersebut. Kemudian daerah tersebut berkembang dan menjadi pusat pemerintahan yang secara otomatis akan membuat pemilik lahan atau tuan tanah atau raja di daerah tersebut menjadi terikat atau menjadi bagian dari sejarah daerah tersebut.
Melalui buku Babad Tanah Jawi kita dapat mengetahui ataupun mengidentifikasi peristiwa-peristiwa sejarah pada waktu itu. Hal ini didasarkan pada isi buku Babad Tanah Jawi yang berisi kisah kerajaan beserta Raja dan segala isinya pada waktu itu, seperti asal muasal tanah Jawa sampai berdiri dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa. Babad Tanah Jawi tergolong karya sastra sejarah karena di dalamnya menceritakan suatu peristiwa, perkembangan suatu daerah dan juga terdapat silsilah-silsilah penguasa. Babad Tanah Jawi ini termasuk historiografi tradisional. Dalam penulisan sejarahnya, Babad Tanah Jawi berisi cerita pada zaman Hindu Budha dan Islam.
Dalam Babad Tanah Jawi penulisan sejarahnya bersifat religio sentris yaitu ceritanya dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga istana) yang sering disebut istana sentris, keluarga sentris atau dinasti sentris. Selain itu juga bersifat feodalistis-aristokratis, dimana yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Religio magis, dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal gaib. Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata. Penulisan sejarahnya ditujukan untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja. Region-sentris (kedaerahan), banyak dipengaruhi daerah, cerita-cerita gaib dan juga cerita-cerita dewa dari daerah tersebut. Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma  (bertuah, sakti).[3]
Dari Babad Tanah Jawi dapat diketahui bahwa erat hubungannya dengan unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif dan metologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan uraian peristiwa pada masa lampau. Melalui Babad Tanah Jawi kita bisa melihat dan atau mengetahui seperti apa sebenarnya historiografi tradisonal itu. Begitu juga sebaliknya, ketika kita sudah mengetahui seperti apa historiografi tradisonal itu maka kita menjadi lebih bisa mempelajari dan memahami historiografi tradisonal tersebut melalui Babad Tanah Jawi.
Berdasarkan buku Babad Tanah Jawi kita dapat melihat atau berpendapat bahwa historiografi yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi menyampaikan nilai fakta maupun fiksi. Nilai fiktif tersebut dapat kita lihat melalui mitos tentang struktur pemerintahan raja di kerajaan-kerajaan Jawa. Menurut Sartono Kartodirdjo, mitos mempunyai fungsi untuk membuat masa lampau bermakna, biarpun dalam mitos tidak ada unsur waktu, juga tidak ada masalah kronologi, tidak ada masalah awal dan akhir.[4] Hal ini dapat dilihat pada Babad Tanah Jawi semisal tentang Jaka Tingkir dan prosesnya menjadi raja di kerajaan Pajang. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa mitos dan simbol memainkan peran penting dalam historiografi Jawa.
Dengan melihat, membaca dan memahami buku Babad Tanah Jawi, sekali lagi kita dapat mengetahui bahwa Babad Tanah Jawi tersebut termasuk kedalam historiografi tradisional, dimana historiografi tradisional itu sendiri adalah historiografi yang diidentifikasi sebagai produk ketika sejarah ditulis dalam tradisi besar masa lalu yang belum membedakan antara realitas dengan legenda ataupun mitos.[5] Babad Tanah Jawi sebenarnya adalah karya sastra, karya sastra yang kemudian masuk ke dalam sejarah atau lebih tepatnya karya sastra sejarah karena isinya yang mengandung sejarah pada masa itu. Sebuah karya satra telah menjadi bagian yang integral dengan sejarah sebagai sebuah tradisi. Oleh sebab itu sebagai sebuah tradisi, paling tidak ada empat fungsi utama dari karya-karya sastra seperti itu. Pertama, sebagai alat dokumentasi. Kedua, sebagai media untuk transformasi memori antar generasi. Ketiga, sebagai alat untuk membangun legitimasi. Keempat, sebagai bentuk ekspresi intelektual. Walaupun kebenaran dari cerita sejarah yang terdapat dalam Babad tanah Jawi tersebut masih pantas untuk dipertanyakan, tetapi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mempergunakan Babad Tanah Jawi sebagai referensi sejarah dikarenakan keterbatasan sumber sejarah pada masa itu.
Seperti historiografi tradisional pada umunya, tulisan atau isi atau narasi Babad Tanah Jawi  bersifat istana sentris atau menceritakan raja dan atau keluarga raja pada masa itu. Saat bercerita tentang raja dan atau keluarga kerajaan pasti cerita tersebut mengunggulkan yang diceritakan atau yang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut. Dari hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa pada penulisan Babad Tanah Jawi terselip maksud dan tujuan untuk digunakan sebagai alat legitimasi raja yang berkuasa dan memberi nialai-nilai tambah pada raja yang menjadi tokoh utama dalam karya satra ini. Garis silsilah raja yang diambil mulai dari Nabi Adam AS sampai dewa dewi agama hindu budha dan tokoh pewayangan merupakan suatu bukti bahwa walaupun memang ada cerita yang bersumber dari kenyataan tetapi ada juga yang hanya ingin menggapai legitimasi yang sebesar-besarnya oleh karena itu penggunaan Babad Tanah Jawi sebagai sumber penulisan sejarah harus menggunakan berbagai macam bukti-bukti pembanding.



Sumber:
W. L. Olthof (penyusun) H. R. Sumarsono (alih bahasa), Babad Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi, 2011
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia, 1982
Bambang Purwanto, Gagalnya Hiistoriografi Indonesiasentris?!, Yogyakarta: Ombak, 2006
http://www.sentra-edukasi.com/



[1] W. L. Olthof (penyusun) H. R. Sumarsono (alih bahasa), 2011, Babad Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi. Hal v
[2] W. L. Olthof (penyusun) H. R. Sumarsono (alih bahasa), 2011, Babad Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi. Hal vi
[3] http://www.sentra-edukasi.com/
[4] Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif. (Gramedia : Jakarta, 1982), hal 16
[5] Bambang Purwanto. Gagalnya Hiistoriografi Indonesiasentris?!, (Ombak : Yogjakarta, 2006), hal.98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar