Jumat, 19 April 2013

Demokrasi Liberal



A.    Pengertian Demokrasi Liberal
            Demokrasi liberal adalah suatu bentuk system politik dan pemerintahan yang bertumpu pada asas – asas liberalisme yang ada dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Demokrasi liberal pertama kali muncul pada abad pertengahan dari teori kontrak social. Penerapan system demokrasi liberal pada setiap negara akan berbeda – beda. Di Indonesia demokrasi liberal yang berjalan dari tahun 1950 – 1959 mengalami seringnya perubahan – perubahan cabinet yang mengakibatkan pemerintahan di Indonesia tidak stabil. Pemerintahan pada waktu itu berlandaskan pada undang – undang sementara tahun 1950 sebagai pengganti konstitusi RIS (republic Indonesia Serikat) tahun 1949.
Ciri – ciri demokrasi liberal :
-        Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
-        Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah dan atau kepada parlemen.
-        Presiden bisa dan berhak membubarkan DPR.
-        Perdana menteri diangkat oleh presiden.
B.     Kondisi politik pada masa demokrasi liberal
              Masa demokrasi liberal di Indonesia tahun 1950 – 1959 sering juga disebut masa cabinet parlementer. Cabinet parlementer adalah cabinet yang pemerintahannya di pegang oleh seorang perdana menteri. Dalam masa cabinet parlementer ini ternyata konflik antar partai di Indonesia sangat tinggi sehingga cabinet yang memimpin terpaksa jatuh bangun silih berganti memimpin Indonesia. Hingga pada masa akhir demokrasi liberal di Indonesia sudah terdapat 7 kabinet yang silih berganti memimpin Indonesia. Cabinet – cabinet yang pernah memimpin Indonesia itu ialah :
1        Kabinet Mohammad Natsir (September 1950 – Maret 1951)
            Cabinet ini merupakan cabinet yang pertama kali ada di Indonesia dimana cabinet ini dimotori oleh partai Masyumi. Cabinet ini menyerahkan mandatnya pada tanggal 21 Maret 1951 setelah adanya mosi yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD sementara. Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang – Undang Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi dan adanya tentangan dari PNI yang menentang kebijakannya mengenai Irian Jaya.
2        Kabinet Sukiman (April 1951 – Februari 1952)
            Cabinet Sukiman merupakan cabinet koalisi antara partai Masyumi dan partai PNI. Pada masa cabinet Sukiman terdapat banyak masalah gangguan keamanan dalam negeri seperti semakin meluasnya DI / TII dan munculnya Republik Maluku Selatan (RMS). Cabinet ini jatuh karena politik luar negerinya yang lebih condong ke barat yang diwarnai dengan penentangan PNI terhadap penandatanganan Mutual Security Act (MSA) yang diadakan pada tanggal 15 Januari 1952 dimana MSA tersebut berisi kerja sama keamanan antara Indonesia dan Amerika Serikat dimana Amerika Serikat akan memeberikan bantuan ekonomi dan militer. PNI khawatir bantuan itu dapat digunakan sebagai alat untuk memasukan Indonesia ke dalam blok barat. Dengan demikian Indonesia tidak bersikap bebas aktif lagi dalam melihat “Perang Dingin” antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat.
3        Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953)
            Cabinet ini bertugas mengadakan persiapan pemilihan umum dan pembentukan dewan konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, cabinet ini pun harus meletakkan jabatannya. Hal ini disebabkan karena daerah – daerah semakin tidak percaya kepada pemerintah pusat. Disamping itu terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa 17 Oktober 1952 yaitu tuntutan atau desakan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat agar DPRS dibubarkan dan diganti dengan parlemen baru. Sedangkan peristiwa Tanjung Morawa (Sumatera Timur) mencakup persoalan perkebunan asing di Tanjung Morawa yang diperebutkan dengan rakyat yang mengakibatkan beberapa petani tewas.
4        Kabinet Ali Satroamijoyo (Juli 1953 – Juli 1955)
              Cabinet ini dikenal dengan cabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro). Tugas cabinet Ali Sastroamijoyo adalah melanjutkan program cabinet Wilopo, yaitu melaksanakan pemilihan umum untuk memilih DPR dan konstituante. Meskipun cabinet Ali Sstroamijoyo berhasil dalam politik luar negerinya dengan keberhasilannya menyelenggarakan KAA di Bandung pada bulan April 1955, namun cabinet ini harus meletakkan jabatannya sebelum dapat melaksanakan tugas utamanya yaitu pemilu. Hal ini disebabkan karena pemimpin TNI AD menolak pimpinan baru yang baru saja diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Calon pimpinan TNI yang diajukakan oleh cabinet ditolak oleh Korps. Perwira sehingga menimbulkan krisis cabinet.
5        Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
            Cabinet Burhanudin bertugas untuk melaksanakan pemilu. Tugas ini berhasil dilaksanakan meski harus melewati berbagai kendala. Pada tanggal 29 September 1955 dilakukan pemilihan anggota – anggota parlemen, dan pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan pemilihan umum untuk Konstituante. Selain masalah pemilihan umum, cabinet Burhanudin juga berhasil menyelesikan masalah antara TNI AD dengan diangkatnya kembali colonel A. H. Nasution. Setelah itu pada tanggal 3 Maret  1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya.
6        Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 – Maret 1957)
            Cabinet ini mempunyai rencana kerja untuk lima tahun, isinya antara lain adalah perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah RI, otonomi daerah, mengusulkan perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan, dan pemebentukan Dewan Ekonomi Nasional. Namun seiring berjalannya program – program cabinet ini juga terdapat masalah – masalah yang mengiringinya seperti munculnya anti Cina dan kekacauan di daerah – daerah yang memebuat cabinet goyah. Akhirnya pada Maret 1957 Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya.
7        Kabinet Djuanda (Maret 1957 – April 1959)
            Cabinet Djuanda sering disebut pula dengan Zaken Kabinet karena dalam cabinet ini terdapat orang – orang yang memiliki keahlian di bidang masing – masing. Tugas cabinet Djuanda adalah melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi yang berhasil diraih cabinet ini adalah berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik – titik terluar pulau Indonesia. Ketetapan ini disebut dengan Deklarasi Djuanda. Cabinet ini menjadi demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959.
C.     Kondisi ekonomi pada masa demokrasi liberal
Sesudah Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, KMB membebankan pada Indonesia hutang luar negeri sebesar Rp 2.800 juta. Sementara ekspor masih tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan saja. Dari sisi moneter difisit pemerintah sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah pada 20 Maret 1950. Jumlah itu didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp 1,6 milyar. Kemudian dengan kesepakatan Sidang Menteri Uni Indonesia-Belanda, diperoleh kredit sebesar Rp 200.000.000,00 dari negeri Belanda. Pada 13 Maret 1950 di bidang perdagangan diusahakan untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang ekspor. Keadaan sedikit membaik tahun 1950. Ekspor Indonesia menjadi 187% pada bulan April 1950, 243% pada bulan Mei atau sejumlah $ 115 juta. Selain itu diupayakan mencari kredit dari luar negeri terutama untuk pembangunan prasarana ekonomi. Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda berhasil mendapatkan kredit dari Exim Bank of Washington sejumlah $ 100.000.000. Dari jumlah tersebut direalisasi sejumlah $ 52.245.000. Jumlah ini untuk membangun proyek-proyek pengangkutan automotif, pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara. Namun demikian sejak 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang lagi, karena menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia dengan ekonomi agrarianya memang tidak memiliki barang-barang ekspor lain kecuali hasil perkebunan. Upaya perbaikan ekonomi secara intensif diawali dengan Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang disusun Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo di masa Kabinet Natsir. Sasaran utamanya adalah industrialisasi. Setahun kemudian, pada zaman Kabinet Sukiman, pemerintah membentuk Biro Perancang Negara yang berturut-turut dipimpin oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Ir. Djuanda, dan Mr. Ali Budiardjo. Pada tahun 1956 badan ini menghasilkan suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960) dan untuk melaksanakannya, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Perancang Nasional. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp 12,5 milyar, didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama lima tahun. Ternyata harga ekspor bahan mentah Indonesia merosot. Hal ini mendorong pemerintah untuk melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember 1957. Sementara itu, ketegangan politik yang timbul akibat pergolakan daerah ternyata tidak dapat diredakan dan untuk menanggulanginya diperlukan biaya yang besar, sehingga mengakibatkan meningkatnya defisit. Padahal ekspor justru sedang menurun. Situasi yang memburuk ini berlangsung terus sampai tahun 1959. Dalam bidang ekonomi satu fenomena moneter yang paling terkenal pada periode ini adalah pemotongan mata uang rupiah menjadi dua bagian. Pengguntingan uang ini terkenal dengan sebutan “gunting Syafrudin”. Tujuan dari penggun-tingan uang ini adalah untuk menyedot jumlah uang beredar yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan dan untuk menekan defisit anggaran belanja.
D.    Akhir masa demokrasi liberal
Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit. Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit presiden tersebut sebagai berikut :
-        Pembubaran Konstituante
-        Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
-        Pembentukan MPRS dan DPAS
Dengan dikeluarkannya dekrit tersebut maka berakhir pula lah masa demokrasi liberal yang kemudian berganti manjadi demokrasi terpimpin. 


DAFTAR PUSTAKA

M.C. Ricklefs,(2009). Sejarah Indonesia Modern 2000-2008, Jakarta: Serambi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar