Jumat, 19 April 2013

Mitos dalam Historiografi Jawa



          Historiografi Jawa yang dikemukakan melalui Pararaton dan Babad Tanah Jawi adalah historiografi yang di dalamnya menyampaikan dua nilai, yaitu fakta dan fiksi. Bagaimana kedua nilai itu bisa disatukan adalah suatu kewenangan mutlak bagi penulis. Nilai fiktif tersebut dapat kita lihat melalui mitos tentang struktur pemerintahan raja di kerajaan-kerajaan Jawa, seperti Singasari, Mataram, Kediri dan Demak.
Anthony Jhon melihat bahwa dalam konsepsi Jawa, raja memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat. Raja memiliki peran makro dan mikrokosmis. Sebagai contoh adalah Ken Arok yang menjadi Raja pertama Singasari. Dari apa yang tertulis dalam Pararaton, Ken Arok adalah anak dari dewa Brahmana dengan manusia biasa. Kemudian Ken Arok hidup sebagai manusia dengan lika-liku perjalanan hidupnya. Termasuk tindakan kriminal yang dilakukannya. Kemudian Ken Arok bertemu dengan seorang Brahmana yang mengetahui bahwa Ken Arok adalah keturunan dewa. Selanjutnya bertemu dengan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung dan higga akhirnya Ken Arok menjadi pemimpin dengan sebelumnya melakukan “kudeta merangkak” (istilah yang digunakan Pramoediya Ananta Toer dalam Novel Arok Dedes) terhadap pemerintahan Tunggul Ametung.
Kisah Ken Arok tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa dalam konsep Jawa seorang anak dewa harus menjadi raja, walaupun dengan sejarah gelap kehidupannya. Selanjutnya, karena raja adalah anak dewa, maka rakyat harus mengikuti dan mengakui apapun yang dikatakan oleh raja. Kisah selanjutnya yang menjadi contoh adalah kisah dari Babad tanah Jawi, tentang Jaka Tingkir dan prosesnya menjadi raja kerajaan Pajang. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa mitos dan symbol memainkan peran yang penting dalam historiografi Jawa.
Menurut Sartono Kartodirdjo, “Mitos mempunyai fungsi untuk membuat “masa lampau bermakna”, biarpun dalam mitos “tidak ada unsur waktu, juga tidak ada masalah kronologi, tidak ada masalah awal dan akhir””[1].
Seperti apa yang dikatakan Sartono tersebut, kisah yang ada dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi memang menjadi kisah yang berperan besar dalam kehidupan masayarakat Jawa dan penulisan historiografi Jawa, khususnya dan historiofrafi Indonesia kemudian. Masyarakat Jawa menganggap cerita Ken Arok sebagai awal dari cerita-cerita raja dan kerajaan di Jawa selanjutnya.
Historiografi Jawa melalui Pararaton dan Babad Tanah Jawi, yang keduanya adalah karya sastra, merupakan bagian dari historiografi tradisional. “Historiografi tradisional adalah historiografi yang diidentifikasi sebagai produk ketika sejarah ditulis dalam tradisi besar masa lalu yang belum membedakan antara realitas dengan legenda ataupun mitos”[2]. Karya sastra telah menjadi bagian yang integral dengan sejarah sebagai sebuah tradisi. Oleh sebab itu sebagai sebuah tradisi, paling tidak ada empat fungsi utama dari karya-karya sastra seperti itu. Pertama, sebagai alat dokumentasi. Kedua, sebagai media untuk transformasi memori antar generasi. Ketiga, sebagai alat untuk membangun legitimasi. Keempat, sebagai bentuk ekspresi intelektual[3]. Dari kisah Ken Arok dalam Pararaton, fungsi yang terlihat adalah sebagai alat untuk membangun legitimasi. Untuk mengakui dan membesarkan nama Ken Arok sebagai anak dewa Brahma yang menjadi Raja tanpa melihat sisi gelap dan negative dari pribadi Ken Arok itu sendiri.
Kesimpulannya adalah karya sastra, hasil dari historiografi tradisional tersebut memuat realitas yang disajikan dalam imajinasi dan fantasi. Meskipun historiografi tradisional mengandung nilai fiktif, tidak manusiawi dan tidak mengandung realitas masa lalu namun hasil dari historiografi tradisional tetap menjadi bagian penting dalam penulisan historiografi Indonesia selanjutnya, selama sejarawan mampu menggunakan pemahaman metodologis dan pengetahuan subsatansi historis yang luas untuk mengungkapkan realitas di dalam historiografi tradisional tersebut. Biarkanlah historiografi Jawa dengan mitosnya sendiri, karena “dia” juga menjadi pelengkap nas historiografi Indonesia modern sekarang ini.
Sumber Bacaan :
Bambang Purwanto. Gagalnya Hiistoriografi Indonesiasentris?!, (Ombak : Yogjakarta, 2006)
Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif. (Gramedia : Jakarta, 1982)



[1] Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif. (Gramedia : Jakarta, 1982), hal 16
[2] Bambang Purwanto. Gagalnya Hiistoriografi Indonesiasentris?!, (Ombak : Yogjakarta, 2006), hal.98
[3] Ibid, hal 97-98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar