Jumat, 19 April 2013

Ekonomi Terpimpin



Ekonomi terpimpin, kata itu bagi sejarahwan mungkin sudah tidak asing lagi. Pendirinya adalah Mohammad Hatta yang akrab disapa dengan sapaan Bung Hatta. Ternyata, persoalan yang paling diminati oleh Bung Hatta ialah persoalan seputar tentang ekonomi, sehingga beliau berhasil membuahkan sebuah pemikiran ekonomi di Indonesia seperti ekonomi terpimpin. Sayangnya, di saat ini jarang sekali orang yang tertarik untuk menggali kembali pemikiran-pemikiran Bung Hatta khususnya di bidang ekonomi. Pemikiran Bung Hatta dianggap telah kehilangan relevansinya.
Dalam suasana frustasi nasional yang semakin meningkat, Presiden Soekarno atas nasehat pembantu-pembantunya pada tanggal 22 april 1959 berpidato dimuka sidang konstituante agar dalam rangka demokrasi terpimpin, konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi undang-undang dasar RI yang tetap. Menanggapi usul presiden Soekarno ini, maka konstituante kembali mengadakan siding untuk pemungutan suara. Setelah diadakan pemungutan suara pada tanggal 29 mei 1959 ternyata kworum tidak tercapai. Akibatnya timbulah kemacetan lagi dalam siding konstituante sehingga diadakan pemungutan suara dua kali lagi. Pemungutan suara terakhir diadakan pada tanggal 2 juni 1959 tetapi sidang ini juga tidak mencapai kworum. Oleh karena itu mulai tanggal 5 juni 1959 konstituante mengadakan istirahat yang kemudian ternyata untuk selama-lamanya. Untuk mencegah akibat-akibat yang membahayakan keamanan dengan ditolaknya usul pemerintah oleh konstituante, maka Kepala Staf AD Letjen A.H Nasution mengeluarkan larangan bagi semua kegiatan politik. PNI melalui ketuanya Suwiryo mengirimkan surat pada presiden yang waktu itu berada di Jepang untuk mendekritkan kembali UUD 1945 dan membubarkan konstituante. PKI melalui ketuanya D. N. Aidit memerintahkan kepada anggotanya untuk tidak menghadiri siding konstituante kecuali siding untuk membubarkan diri.
Pada waktu itu keadaan negara sangat gawat. Persatuan dan kesatuan bangsa terancam dengan adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah. Partai-partai politik yang memegang kekuasaan ternyata tidak dapat mengatasi krisis tersebut. Dengan pertimbangan keadaan negara yang membahayakan tersebut maka presiden, cabinet, dewan nasional, beberapa partai besar beserta pimpinan TNI bersepakat untuk kembali ke UUD 1945. Pada saat-saat itu rakyat menaruh harapan dan keprcayaan penuh pada presiden Soekarno. Tetapi tidak lama harapan-harapan tadi semakin kabur dan hilang. Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Demokrasi terpimpin yang seharusnya menciptakan kesejahteraaan rakyat melalui pembangunan ternyata semakin jauh menyimpang dari sasaran.

Ekonomi terpimpin secara istilah yang disebutkan Bung Hatta yaitu merupakan konsekuensi dan nasionalisme yang timbul sebagai bentuk dari perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme.
Prinsip ekonomi terpimpin sejalan dengan sila ke-5 pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dikarenakan adanya pemerataan pembagian kesejahteraan di semua lapisan masyarakat dan mereka dapat merasakannya.
Ekonomi terpimpin serupa dengan ekonomi sosialis. Menurut Bung Hatta ekonomi terpimpin merupakan rival dari sistem ekonomi liberal. Dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pihak pasar, sedangkan pemerintah tidak boleh campur tangan dalam hal tersebut. Atau juga ikut andil dalam mengatur keadaan pasar sehingga peraturan tersebut tidak memberikan gerak bebas bagi pasar.

Dalam konteks ini, kita bisa mengingat apa yang pernah ditulis Hatta pada saat dia masih berusia 26 tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa (ditulis Maret 1928). Begini ia menulis waktu itu: “Pemerintah harus banyak campur tangan dalam pelaksanaan Ekonomi Terpimpin dengan mengadakan petunjuk, tetapi harus bebas dari perbuatan birokrasi. Dalam pelaksanaan ekonomi yang berpedoman kepada prinsip murah, lancar, dan cepat, tidak ada yang lebih berbahaya dari pada birokrasi."
Dan juga pemerintah selayaknya turut pula memberikan aturan-aturannya. Supaya terciptanya pemerataan ekonomi di semua kalangan masyarakat, sehingga yang kaya tidak semakin kaya sedangkan yang miskin tidak semakin miskin.
menurut jenisnya, ekonomi terpimpin dibagi menjadi enam jenis, yaitu:
1. Ekonomi terpimpin menurut ideologi komunisme.
2. Ekonomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi.
3. Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme.
4. Ekonomi terpimpin menurut faham kristen sosialis.
5. Ekonomi terpimpin berdasar ajaran Islam
6. Ekonomi terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial.
Yang pasti dari enam aliran ekonomi terpimpin itu kesemuanya itu menolak adanya kepentingan individu, yang mana kepentingan orang banyak akan terkalahkan oleh kepentingan segelintir orang tersebut. Hal ini justru benar-benar terlihat dari sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan per-individu saja sedangkan masyarakat banyak yang lebih membutuhkannya malah kenyataannya terabaikan.

Pada hakikatnya, adanya konsep ekonomi terpimpin itu disambungkan dengan adanya konsep nasionalisme. Jadi selayaknya ekonomi terpimpin yang paling layak digunakan demi terhubungnya dengan prinsip nasionalisme adalah ekonomi terpimpin yang berdasarkan atas asas sosialisme demokrasi, yang kedua asas ini terkait dengan Pancasila yang berlaku sebagai landasan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dapat disimpulkan dengan singkat, bahwa ekonomi terpimpin dalam prakteknya adalah ekonomi yang liar karena berjalan tanpa aturan-aturan yang jelas. Dalam hal ini terutama presiden Soekarno sendiri yang dapat melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi segala ketentuan yang ada, meskipun akibatnya adalah tambah merosotnya ekonomi nasional. Rangkaian tindakan presiden Soekarno yang paling dikenal yang mangacaukan ekonomi adalah usaha menghimpun sebuah dana khusus yang sepenuhnya dikuasai dan hanya boleh diambil olehnya secara pribadi. Dana itu diberi nama “Dana Revolusi”. Untuk mengumpulkan dana, presiden menarik sumbangan dari orang-orang yang diberi izin import dengan deferret payment khusus. Dalam praktek, barang-barang yang diimport adalah barang yang tidak bermanfaat bagi rakyat. Bahkan barang-barang itu mudah menjadi barang spekulasi dalam perdagangan. Deferret payment khusus sangat menambah laju inflasi sehingga rakyat kecil semakin terhimpit oleh beratnya bebn penghidupan karena uang byang dipegang terus merosot nilainya dari hari kehari, dengan demikian harga-harga terus membumbung tinggi. Selanjutnya presiden Soekarno mengeluarkan penetapan yang memungkinkan menteri keuangan menempuh kebijaksanaan yang menyimpang dari undang-undang pokok bank Indoenesia. Menteri kauangan kemudian memutuskan bahwa neraca bank Indonesia tidak boleh lagi diumumkan. Akibatnya, bahwa bank Indonesia tidak dapat lagi menjalankan fungsinya untuk mengatur peredaran uang. Karena neraca tidak diumumkan, maka timbulah usaha-usaha spekulasi dalam dunia perdagangan. Pemerintah juga tidak mengadakan pengendalian yang ketat terhadap pengeluarannya, sehingga dari tahun ke tahun timbul deficit yang makin lama makin besar. Untuk m\enutupi deficit itu pemerintah terus mencetak uang kertas tanpa perhitungan. Pada saat itu presiden Soekarno sendiri menerima komisi dari perusahaan asing yang melakukan import ke Indonesia. Pada berbagai bank di luar negeri tersimpan uang jutaan dolar atas nama presiden. Ekonomi yang kalut itu mendorong pula krisis akhlak, baik pada pihak yang kekurangan uang, karena terpaksa melakukan pemyelewengan-penyelewengan untuk member nafkah kepada keluarganya maupun dipihak yang mendadak kaya, yang menjadi lupa daratan sehingga menghanyutkan diri dalam hidup foya-foya yang menggelincir ke maksiat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar