Buku pokok-pokok gerilya karya Jendral Abdul Haris
Nasution ini terbit untuk pertama kali pada tahun 1953. Banyak penulis militer
dan ahli strategi mensejajarkan nama Nasution dengan Mao Tse Tung, Grivas, Vo
Nguen Giap, Roger Trinquier dan Che Guevara. Hal ini tidaklah mengherankan
mengingat strategi dan taktik perang gerilya yang dicetuskan Nasution ini lah
Indonesia dapat mengalahkan Belanda yang bersenjata modern dalam perang
kolonial II pada tahun 1948-1949. Buku Pokok-Pokok Gerilya karangan Jendral A.
H. Nasution ini juga cukup banyak mendapat perhatian dari dunia luar seperti
Amerika, Jerman dan Mesir.
Dalam bukunya,
Jendral Abdul Haris Nasution atau yang biasa lebih dikenal dengan A. H.
Nasution telah banyak memberikan penjelasan yang detail mengenai
perang gerilya. Aspek-aspek perang yang mendapat perhatian
penting dalam perang gerilya dan merupakan komponen dalam membentuk perang
total adalah sebagai berikut : Perang
psikologis, yaitu situasi dan kondisi perang dimana salah satu
pihak berusaha untuk melemahkan bahkan berusaha untuk meruntuhkan moril lawan
sebelum perang sesungguhnya dimulai, sedang di lain pihak berusaha memperkuat
dan memperteguh semangat rakyatnya sendiri. Selanjutnya adalah perang politik, yaitu
perang yang berusaha untuk mengurangi jumlah sekutu dari pihak
musuh dan dan memperbanyak musuh musuhnya, dan berbuat sebaliknya untuk diri
sendiri. Selanjutnya adalah perang
ekonomi yang berusaha menghancurkan alat-alat dan sumber produksi musuh agar
kekuatan mereka menjadi berkurang, dan sembari menghancurkankan produksi lawan
maka harus berusaha memperbaiki ekonomi diri sendiri. Pada dewasa ini, perang
tidak lagi didominasi oleh ilmu perang yang khusus berkaitan dengan strategi,
taktik, dan logistiknya saja, melainkan melibatkan pula apek politik
militer, politik, psikologis, dan sosial
ekonomi. Perang bukan lagi menjadi dominasi militer belaka akan tetapi juga
politik dan ekonomi. Pimpinan perang bukan lagi yang ada di medan militer saja,
akan tetapi medan medan seluruh aspek kehidupan. Syarat-syaratnya tidak lagi tentang pemahaman
di dunia kemiliteran, akan tetapi juga pengetahuan yang baik di bidang politik,
militer, dan ekonomi.
Perang
Gerilya yang terjadi di Indonesia melawan agresi militer Belanda dalam rentang
tahun 1947-1949-an memiliki kejadian yang sama dengan apa yang telah terjadi di
Amerika Serikat dan Rusia. Dalam tempo yang singkat Belanda merebut kota
penting dan jalan jalan utama di pulau Jawa. Otomatis serangan tersebut
memukul mundur tentara tentara Republik Indonesia. Akan tetapi, ending
dari agresi Belanda tidak sama dengan apa yang telah terjadi pada Amerika
Serikat dan Rusia. Pada saat itu, perang Gerilya yang dilancarkan oleh pasukan
Indonesia tidak berfungsi sebagaimana yang dicontohkan oleh dua Negara tadi,
melainkan berfungsi untuk membuat Belanda jenuh dan bosan dengan perlawanan
yang tiada akhir. Selain itu, Indonesia melalui diplomat-diplomatnya berhasil memenangkan perang
politik di luar negeri sehingga dunia Internasional mengecam dan menekan
Belanda untuk menghentikan agresi militernya terhadap Indonesia. Perang Gerilya
yang dilakukan Indonesia menunjukkan fungsi lainnya yaitu untuk membuat pihak
lawan jenuh, frustasi, dan tidak berhasrat untuk melanjutkan peperangan. Perang gerilya Indonesia saat melawan
aggressor Belanda menekankan defensive perang gerilya yang sifatnya hanya
menahan serangan musuh.
Dengan membaca Pokok-Pokok
Gerilya karya Nasution ini sangat besar kemungkinan semangat nasionalisme para
pembaca akan berkobar kembali walaupun saat ini sudah berbeda zaman. Dari buku
ini pula kita dapat mengetahui tentang perang gerilya sekaligus perjuangan
rakyat Indonesia langsung dari sumber atau saksi atau pelaku perjuangan
tersebut. Penulisan buku ini sangat Indonesiasentris dimana buku ini termasuk
ke dalam historiografi masa revolusi. Adapun ciri-ciri historiografi masa
revolusi adalah penulisannya bersifat Indonesiasentris bukan
Eropasentris, banyak
biografi dari tokoh maupun pahlawan nasional yang diterbitkan, tulisan merupakan ekspresi dalam semangat
nasionalistis yang berkobar-kobar dalam periode post revolusi, tokoh-tokoh nasional menjadi simbol
kenasionalan serta menjadi indentitas bangsa yang menghilang pada masa kolonial.
Sejarah pada zaman revolusi ini terjadi
ketika Indonesia mulai adanya pergerakan untuk mencapai suatu kemerdekaan. Penulis sejarah pada masa pergerakan ini
adalah dalam rangka pencarian subyektifitas dari peristiwa sejarah masa lampau.
Masa lampau dipelajari bukan hanya untuk pengetahuan semata, tapi juga demi
suatu peristiwa yang bisa dijadikan pelajaran pada masa sekarang. Karena
peristiwa sejarah itu memiliki keistimewaan yaitu peristiwanya terjadi hanya
satu kali saja. Jadi dalam menggali kembali sejarah masa lampau harus
benar-benar teliti supaya tidak terjadi kerancauan di kemudian hari.