Pada dasarnya,
babad adalah karya tulis yang menceritakan tentang pendirian sebuah Negara
(Kerajaan) dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.[1] Hal
yang sama tampaknya juga berlaku dalam Babad Tanah Jawi. Babad ini ditulis oleh
Mataram dan isinya berkisar tentang silsilah raja-raja Mataram. Khususnya dalam
buku ini, sejarah Jawa dipaparkan dengan menarik garis silsilah awal Nabi Adam
AS, kemudian dilengkapi dengan silsilah dewa-dewa agama Hindu, tokoh
Mahabharata, cerita Panji di Kediri, hingga berakhir pada masa Kartasura,
tepatnya saat terjadi perselisihan antara Raja Kartasura dengan Pangeran
Purbaya dan Sultan Blitar yang masih sedarah. Menurut perkiraan penyusunnya,
peristiwa ini terjadi di sekitar tahun 1647.[2]
Babad pada
umumnya dikenal dengan arti membabat hutan atau membuka lahan. Penulisan babad
sendiri lebih berkaitan dengan pembukaan lahan. Pada buku Babad Tanah Jawi ini
misalnya, buku Babad Tanah Jawi ini berisi narasi pembukaan lahan di Jawa yang
kemudian memunculkan tuan tanah atau raja di daerah tersebut yang mana nantinya
akan menjadi penguasa secara turun temurun di daerah tersebut. Kemudian daerah
tersebut berkembang dan menjadi pusat pemerintahan yang secara otomatis akan
membuat pemilik lahan atau tuan tanah atau raja di daerah tersebut menjadi
terikat atau menjadi bagian dari sejarah daerah tersebut.
Melalui buku
Babad Tanah Jawi kita dapat mengetahui ataupun mengidentifikasi
peristiwa-peristiwa sejarah pada waktu itu. Hal ini didasarkan pada isi buku
Babad Tanah Jawi yang berisi kisah kerajaan beserta Raja dan segala isinya pada
waktu itu, seperti asal muasal tanah Jawa sampai berdiri dan runtuhnya kerajaan-kerajaan
di Jawa. Babad Tanah Jawi tergolong karya sastra sejarah karena di dalamnya
menceritakan suatu peristiwa, perkembangan suatu daerah dan juga terdapat
silsilah-silsilah penguasa. Babad Tanah Jawi ini termasuk historiografi
tradisional. Dalam penulisan sejarahnya, Babad Tanah Jawi berisi cerita pada
zaman Hindu Budha dan Islam.
Dalam Babad
Tanah Jawi penulisan sejarahnya bersifat religio sentris yaitu ceritanya
dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga istana) yang sering disebut
istana sentris, keluarga sentris atau dinasti sentris. Selain itu juga bersifat
feodalistis-aristokratis, dimana yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum
bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Religio magis, dihubungkan
dengan kepercayaan dan hal-hal gaib. Tidak begitu membedakan hal-hal yang
khayal dan hal-hal yang nyata. Penulisan sejarahnya ditujukan untuk menghormati
dan meninggikan kedudukan raja. Region-sentris (kedaerahan), banyak dipengaruhi
daerah, cerita-cerita gaib dan juga cerita-cerita dewa dari daerah tersebut.
Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma (bertuah, sakti).[3]
Dari Babad Tanah
Jawi dapat diketahui bahwa erat hubungannya dengan unsur-unsur sastra, sebagai
karya imajinatif dan metologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan uraian
peristiwa pada masa lampau. Melalui Babad Tanah Jawi kita bisa melihat dan atau
mengetahui seperti apa sebenarnya historiografi tradisonal itu. Begitu juga sebaliknya,
ketika kita sudah mengetahui seperti apa historiografi tradisonal itu maka kita
menjadi lebih bisa mempelajari dan memahami historiografi tradisonal tersebut
melalui Babad Tanah Jawi.
Berdasarkan buku
Babad Tanah Jawi kita dapat melihat atau berpendapat bahwa historiografi yang
terdapat dalam Babad Tanah Jawi menyampaikan nilai fakta maupun fiksi. Nilai
fiktif tersebut dapat kita lihat melalui mitos tentang struktur pemerintahan
raja di kerajaan-kerajaan Jawa. Menurut Sartono Kartodirdjo, mitos mempunyai
fungsi untuk membuat masa lampau bermakna, biarpun dalam mitos tidak ada unsur
waktu, juga tidak ada masalah kronologi, tidak ada masalah awal dan akhir.[4]
Hal ini dapat dilihat pada Babad Tanah Jawi semisal tentang Jaka Tingkir dan
prosesnya menjadi raja di kerajaan Pajang. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa
mitos dan simbol memainkan peran penting dalam historiografi Jawa.
Dengan melihat,
membaca dan memahami buku Babad Tanah Jawi, sekali lagi kita dapat mengetahui
bahwa Babad Tanah Jawi tersebut termasuk kedalam historiografi tradisional,
dimana historiografi tradisional itu sendiri adalah historiografi yang
diidentifikasi sebagai produk ketika sejarah ditulis dalam tradisi besar masa
lalu yang belum membedakan antara realitas dengan legenda ataupun mitos.[5]
Babad Tanah Jawi sebenarnya adalah karya sastra, karya sastra yang kemudian
masuk ke dalam sejarah atau lebih tepatnya karya sastra sejarah karena isinya
yang mengandung sejarah pada masa itu. Sebuah karya satra telah menjadi bagian
yang integral dengan sejarah sebagai sebuah tradisi. Oleh sebab itu sebagai
sebuah tradisi, paling tidak ada empat fungsi utama dari karya-karya sastra
seperti itu. Pertama, sebagai alat dokumentasi. Kedua, sebagai media untuk
transformasi memori antar generasi. Ketiga, sebagai alat untuk membangun
legitimasi. Keempat, sebagai bentuk ekspresi intelektual. Walaupun kebenaran
dari cerita sejarah yang terdapat dalam Babad tanah Jawi tersebut masih pantas
untuk dipertanyakan, tetapi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mempergunakan
Babad Tanah Jawi sebagai referensi sejarah dikarenakan keterbatasan sumber
sejarah pada masa itu.
Seperti
historiografi tradisional pada umunya, tulisan atau isi atau narasi Babad Tanah
Jawi bersifat istana sentris atau
menceritakan raja dan atau keluarga raja pada masa itu. Saat bercerita tentang
raja dan atau keluarga kerajaan pasti cerita tersebut mengunggulkan yang
diceritakan atau yang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut. Dari hal ini
dapat dilihat dengan jelas bahwa pada penulisan Babad Tanah Jawi terselip
maksud dan tujuan untuk digunakan sebagai alat legitimasi raja yang berkuasa
dan memberi nialai-nilai tambah pada raja yang menjadi tokoh utama dalam karya
satra ini. Garis silsilah raja yang diambil mulai dari Nabi Adam AS sampai dewa
dewi agama hindu budha dan tokoh pewayangan merupakan suatu bukti bahwa
walaupun memang ada cerita yang bersumber dari kenyataan tetapi ada juga yang
hanya ingin menggapai legitimasi yang sebesar-besarnya oleh karena itu
penggunaan Babad Tanah Jawi sebagai sumber penulisan sejarah harus menggunakan
berbagai macam bukti-bukti pembanding.
Sumber:
W. L. Olthof
(penyusun) H. R. Sumarsono (alih bahasa), Babad
Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi, 2011
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran
dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia, 1982
Bambang Purwanto, Gagalnya
Hiistoriografi Indonesiasentris?!, Yogyakarta: Ombak, 2006
http://www.sentra-edukasi.com/
[1] W. L. Olthof (penyusun) H. R.
Sumarsono (alih bahasa), 2011, Babad
Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi. Hal v
[2] W. L. Olthof (penyusun) H. R.
Sumarsono (alih bahasa), 2011, Babad
Tanah Jawi cet pertama, Yogyakarta: Narasi. Hal vi
[3] http://www.sentra-edukasi.com/
[4] Sartono Kartodirdjo. Pemikiran
dan Perkembangan Historiografi : Suatu Alternatif. (Gramedia : Jakarta,
1982), hal 16
[5] Bambang Purwanto. Gagalnya
Hiistoriografi Indonesiasentris?!, (Ombak : Yogjakarta, 2006), hal.98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar