A.
Pengertian Demokrasi Liberal
Demokrasi liberal adalah suatu
bentuk system politik dan pemerintahan yang bertumpu pada asas – asas
liberalisme yang ada dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Demokrasi
liberal pertama kali muncul pada abad pertengahan dari teori kontrak social.
Penerapan system demokrasi liberal pada setiap negara akan berbeda – beda. Di
Indonesia demokrasi liberal yang berjalan dari tahun 1950 – 1959 mengalami
seringnya perubahan – perubahan cabinet yang mengakibatkan pemerintahan di Indonesia
tidak stabil. Pemerintahan pada waktu itu berlandaskan pada undang – undang
sementara tahun 1950 sebagai pengganti konstitusi RIS (republic Indonesia
Serikat) tahun 1949.
Ciri – ciri demokrasi liberal :
-
Presiden dan wakil
presiden tidak dapat diganggu gugat.
-
Menteri bertanggung
jawab atas kebijakan pemerintah dan atau kepada parlemen.
-
Presiden bisa dan berhak
membubarkan DPR.
-
Perdana menteri
diangkat oleh presiden.
B.
Kondisi politik pada
masa demokrasi liberal
Masa
demokrasi liberal di Indonesia tahun 1950 – 1959 sering juga disebut masa
cabinet parlementer. Cabinet parlementer adalah cabinet yang pemerintahannya di
pegang oleh seorang perdana menteri. Dalam masa cabinet parlementer ini
ternyata konflik antar partai di Indonesia sangat tinggi sehingga cabinet yang
memimpin terpaksa jatuh bangun silih berganti memimpin Indonesia. Hingga pada
masa akhir demokrasi liberal di Indonesia sudah terdapat 7 kabinet yang silih
berganti memimpin Indonesia. Cabinet – cabinet yang pernah memimpin Indonesia
itu ialah :
1
Kabinet Mohammad Natsir
(September 1950 – Maret 1951)
Cabinet
ini merupakan cabinet yang pertama kali ada di Indonesia dimana cabinet ini
dimotori oleh partai Masyumi. Cabinet ini menyerahkan mandatnya pada tanggal 21
Maret 1951 setelah adanya mosi yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD
sementara. Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang – Undang
Darurat yang mendapat kritikan dari partai oposisi dan adanya tentangan dari
PNI yang menentang kebijakannya mengenai Irian Jaya.
2
Kabinet Sukiman (April
1951 – Februari 1952)
Cabinet
Sukiman merupakan cabinet koalisi antara partai Masyumi dan partai PNI. Pada
masa cabinet Sukiman terdapat banyak masalah gangguan keamanan dalam negeri
seperti semakin meluasnya DI / TII dan munculnya Republik Maluku Selatan (RMS).
Cabinet ini jatuh karena politik luar negerinya yang lebih condong ke barat
yang diwarnai dengan penentangan PNI terhadap penandatanganan Mutual Security
Act (MSA) yang diadakan pada tanggal 15 Januari 1952 dimana MSA tersebut berisi
kerja sama keamanan antara Indonesia dan Amerika Serikat dimana Amerika Serikat
akan memeberikan bantuan ekonomi dan militer. PNI khawatir bantuan itu dapat
digunakan sebagai alat untuk memasukan Indonesia ke dalam blok barat. Dengan
demikian Indonesia tidak bersikap bebas aktif lagi dalam melihat “Perang
Dingin” antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat.
3
Kabinet Wilopo (April
1952 – Juni 1953)
Cabinet ini bertugas mengadakan persiapan pemilihan umum
dan pembentukan dewan konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan,
cabinet ini pun harus meletakkan jabatannya. Hal ini disebabkan karena daerah –
daerah semakin tidak percaya kepada pemerintah pusat. Disamping itu terjadi
peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa 17 Oktober
1952 yaitu tuntutan atau desakan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat agar
DPRS dibubarkan dan diganti dengan parlemen baru. Sedangkan peristiwa Tanjung
Morawa (Sumatera Timur) mencakup persoalan perkebunan asing di Tanjung Morawa
yang diperebutkan dengan rakyat yang mengakibatkan beberapa petani tewas.
4
Kabinet Ali
Satroamijoyo (Juli 1953 – Juli 1955)
Cabinet
ini dikenal dengan cabinet Ali Wongso (Ali Sastroamijoyo dan Wongsonegoro).
Tugas cabinet Ali Sastroamijoyo adalah melanjutkan program cabinet Wilopo,
yaitu melaksanakan pemilihan umum untuk memilih DPR dan konstituante. Meskipun
cabinet Ali Sstroamijoyo berhasil dalam politik luar negerinya dengan
keberhasilannya menyelenggarakan KAA di Bandung pada bulan April 1955, namun cabinet
ini harus meletakkan jabatannya sebelum dapat melaksanakan tugas utamanya yaitu
pemilu. Hal ini disebabkan karena pemimpin TNI AD menolak pimpinan baru yang
baru saja diangkat sebagai Menteri Pertahanan. Calon pimpinan TNI yang
diajukakan oleh cabinet ditolak oleh Korps. Perwira sehingga menimbulkan krisis
cabinet.
5
Kabinet Burhanudin
Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
Cabinet
Burhanudin bertugas untuk melaksanakan pemilu. Tugas ini berhasil dilaksanakan
meski harus melewati berbagai kendala. Pada tanggal 29 September 1955 dilakukan
pemilihan anggota – anggota parlemen, dan pada tanggal 15 Desember 1955
diadakan pemilihan umum untuk Konstituante. Selain masalah pemilihan umum,
cabinet Burhanudin juga berhasil menyelesikan masalah antara TNI AD dengan diangkatnya
kembali colonel A. H. Nasution. Setelah itu pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap menyerahkan mandatnya.
6
Kabinet Ali
Sastroamijoyo II (Maret 1956 – Maret 1957)
Cabinet
ini mempunyai rencana kerja untuk lima tahun, isinya antara lain adalah perjuangan
untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah RI, otonomi daerah,
mengusulkan perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan, dan pemebentukan Dewan
Ekonomi Nasional. Namun seiring berjalannya program – program cabinet ini juga
terdapat masalah – masalah yang mengiringinya seperti munculnya anti Cina dan
kekacauan di daerah – daerah yang memebuat cabinet goyah. Akhirnya pada Maret
1957 Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya.
7
Kabinet Djuanda (Maret
1957 – April 1959)
Cabinet
Djuanda sering disebut pula dengan Zaken Kabinet karena dalam cabinet ini
terdapat orang – orang yang memiliki keahlian di bidang masing – masing. Tugas
cabinet Djuanda adalah melanjutkan perjuangan membebaskan Irian Barat dan
menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang buruk. Prestasi yang berhasil
diraih cabinet ini adalah berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi
12 mil laut diukur dari garis dasar yang menghubungkan titik – titik terluar
pulau Indonesia. Ketetapan ini disebut dengan Deklarasi Djuanda. Cabinet ini menjadi
demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959.
C.
Kondisi ekonomi pada
masa demokrasi liberal
Sesudah
Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, KMB membebankan pada Indonesia hutang
luar negeri sebesar Rp 2.800 juta. Sementara ekspor masih tergantung pada
beberapa jenis hasil perkebunan saja. Dari sisi moneter difisit pemerintah
sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah pada 20 Maret 1950.
Jumlah itu didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp 1,6 milyar. Kemudian dengan
kesepakatan Sidang Menteri Uni Indonesia-Belanda, diperoleh kredit sebesar Rp
200.000.000,00 dari negeri Belanda. Pada 13 Maret 1950 di bidang perdagangan
diusahakan untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan
pemerintah adalah untuk merangsang ekspor. Keadaan sedikit membaik tahun 1950.
Ekspor Indonesia menjadi 187% pada bulan April 1950, 243% pada bulan Mei atau
sejumlah $ 115 juta. Selain itu diupayakan mencari kredit dari luar negeri
terutama untuk pembangunan prasarana ekonomi. Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda
berhasil mendapatkan kredit dari Exim Bank of Washington sejumlah $
100.000.000. Dari jumlah tersebut direalisasi sejumlah $ 52.245.000. Jumlah ini
untuk membangun proyek-proyek pengangkutan automotif, pembangunan jalan,
telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara. Namun demikian
sejak 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang lagi, karena menurunnya volume
perdagangan internasional. Indonesia dengan ekonomi agrarianya memang tidak
memiliki barang-barang ekspor lain kecuali hasil perkebunan. Upaya perbaikan
ekonomi secara intensif diawali dengan Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang
disusun Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo di masa Kabinet Natsir. Sasaran
utamanya adalah industrialisasi. Setahun kemudian, pada zaman Kabinet Sukiman,
pemerintah membentuk Biro Perancang Negara yang berturut-turut dipimpin oleh
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Ir. Djuanda, dan Mr. Ali Budiardjo. Pada
tahun 1956 badan ini menghasilkan suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun
(1956-1960) dan untuk melaksanakannya, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri
Perancang Nasional. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp 12,5 milyar,
didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama lima
tahun. Ternyata harga ekspor bahan mentah Indonesia merosot. Hal ini mendorong
pemerintah untuk melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan
milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember 1957. Sementara itu, ketegangan
politik yang timbul akibat pergolakan daerah ternyata tidak dapat diredakan dan
untuk menanggulanginya diperlukan biaya yang besar, sehingga mengakibatkan
meningkatnya defisit. Padahal ekspor justru sedang menurun. Situasi yang
memburuk ini berlangsung terus sampai tahun 1959. Dalam bidang ekonomi satu
fenomena moneter yang paling terkenal pada periode ini adalah pemotongan mata
uang rupiah menjadi dua bagian. Pengguntingan uang ini terkenal dengan sebutan
“gunting Syafrudin”. Tujuan dari penggun-tingan uang ini adalah untuk menyedot
jumlah uang beredar yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan dan untuk
menekan defisit anggaran belanja.
D.
Akhir masa demokrasi
liberal
Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi
pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan
mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet
menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak
memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk
kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan
negosiasi-negosiasi yang rumit. Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat
memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di
parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan
antar elite politik. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi
Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat
Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok,
karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden
menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi dekrit presiden tersebut
sebagai berikut :
-
Pembubaran Konstituante
-
Tidak berlakunya UUDS 1950 dan
berlakunya kembali UUD 1945
-
Pembentukan MPRS dan DPAS
Dengan dikeluarkannya dekrit tersebut maka berakhir pula lah masa
demokrasi liberal yang kemudian berganti manjadi demokrasi terpimpin.
DAFTAR
PUSTAKA
M.C. Ricklefs,(2009). Sejarah Indonesia Modern 2000-2008, Jakarta: Serambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar