AWAL MULA SISTEM
SEWA TANAH
Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai
berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia
mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat
pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord
Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh
seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).
Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat
liberal di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara
teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari
pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan
pemerintahan hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan
dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik
serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan
memeras masyarakatnya.
Gagasan
Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak
memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles
merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan,
dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa
pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam
hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan
pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda
ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.
Selain
itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan
barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha
rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan
bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles
para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan
ditanam.
Tidak
adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan
terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk
para para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa
pribumi. Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan
untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang
Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan menanam dan
menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak
dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.
Jika
kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran
orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang. Masyarakat pun
dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh
perdagangan di Eropa. Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi
perekonomian pihak Inggris.
Stelsel
yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini
dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan
kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan
negara atau negara mengalami kerugian. Pada hakikatnya pemerintahan Raffles
menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala
unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan
rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.
Dalam
pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sitem sewa tanah atau dikenal juga dengan
sistem pajak bumi dengan istilah landrente. Dalam usahanya untuk melaksanakan
sistem sewa tanah ini Raffles berpegang pada tiga azas, yaitu:
1.
Segala bentuk
dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat
tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi
kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
2.
Pengawasan
tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan
menarik pendapatan atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa
perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah
terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum
3.
Menyewakan
tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar
atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu
yang terbatas.
Adanya
suatu aparatur pemerintahan yang terdiri dari orang-orang Eropa dan
mengesampingkan peranan penguasa pribumi (para bupati), menurut Raffles hal ini
adalah salah satu tindakan penghapusan feodalisme Jawa. Para bupati dialih fungsinya
menjadi pengawas ketertiban dan tidak boleh ikut dalam pemungutan pajak tanah
(landrente). Tentang persewaan tanah, menurut Raffles pemerintah (gubernemen)
sebagai pengganti raja-raja Indonesia merupakan pemilik semua tanah-tanah
sehingga dengan demikian mereka boleh menyewakan tanah-tanah tersebut, yaitu
dengan menuntut sewa tanah berupa pajak tanah maka pendapat negara akan baik. Untuk
menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
1.
Kelas I, yaitu
tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto.
2.
Kelas II, yaitu
tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga darihasil bruto.
3.
Kelas III, yaitu
tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.
A.
PELAKSANAAN SISTEM SEWA TANAH
Sewa
tanah diperkenalkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816)
oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles, yang banyak menghinpun gagasan sewa
tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah didasarkan
pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang
ada.
Thomas
Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Peter
Boomgard (2004:57) menyatakan bahwa: Kita perlu membedakan antara landrente
sebagai suatu pajak bumi atau lebihtepat pajak hasil tanah, yang diperkenalkan
tahun 1813 dan masih terus dipungut pada akhir periode colonial, dan andrente
sebagai suatu sistem (Belanda: Landrente Stelsel), yang berlaku antara tahun
1813 sampai 1830.
Tanah
disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya
bertanggungjawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. sistem sewa
tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi
selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles
ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur
paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.
Kepada
para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian
hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan
Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan
revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai “Libertie (kebebasan), Egaliie
(persamaan), dan Franternitie (persaudaraan)”. Hal tersebut membuat sistem
liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan
raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.
Sehingga
hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana
Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial (Inggris)
sebagai perangkat (struktur pelaksana) sewa tanah, dari pemungutan sampai pada
pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai
pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan
bagian integral (struktur) dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan
proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Tiga
aspek pelaksanaan sistem sewa tanah:
1. Penyelenggaraan sistem pemerintahan atas dasar modern.
Pergantian
dari sistem pemerintahan yang tidak langsung yaitu pemerintahan yang
dilaksanakan oleh para raja-raja dan kepala desa. Penggantian pemerintahan
tersebut berarti bahwa kekuasaan tradisional raja-raja dan kepala tradisional
sangat dikurangi dan sumber-sumber penghasilan tradisional mereka dikurangi
ataupun ditiadakan. Kemudian fungsi para pemimpin tradisional tersebut
digantikan oleh para pegawai-pegawai Eropa.
2. Pelaksanaan pemungutan sewa
Pelaksanaan
pemungutan sewa selama pada masa VOC adalah pajak kolektif, dalam artian pajak
tersebut dipungut bukan dasar perhitungan perorangan tapi seluruh desa. Pada
masa sewa tanah hal ini digantikan menjadi pajak adalah kewajiban tiap-tiap
orang bukan seluruh desa.
3. Pananaman tanaman dagangan untuk dieksport
Pada masa sewa
tanah ini terjadi penurunan dari sisi ekspor, misalnya tanaman kopi yang
merupakan komoditas ekspor pada awal abad ke-19 pada masa sistem sewa tanah
mengalami kegagalan, hal ini karena kurangnya pengalaman para petani dalam
menjual tanaman-tanaman mereka di pasar bebas, karena para petani dibebaskan
menjual sendiri tanaman yang mereka tanam.
Dua hal yang
ingin dicapai oleh raffles melalui sistem sewa tanah ini adalah:
Ø Memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak
tanah.
Ø Mengefektifkan sistem administrasi Eropa yang berarti penduduk pribumi
akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran, ekonomi, dan keadilan.
Pada
sistem sewa tanah rakyat tetap saja harus membayar pajak kepada pemerintah.
Rakyat diposisikan sebagai penyewa tanah, karena tanah adalah milik pemerintah
sehingga untuk memanfaatkan tanah tersebut untuk menghasilkan tanaman yang
nantinya akan dijual dan uang yang didapatkan sebagian kemudian digunakan untuk
membayar pajak dan sewa tanah tersebut. Pada masa ini sistem feodalisme
dikurangi, sehingga para kepala adat yang dahulunya memdapatkan hak-hak atau
pendapatan yang bisa dikatakan irasional, kemudian dikurangi.
Setiap
orang dibebaskan menanam apa saja untuk tanaman ekspor, dan bebas menjualnya
kepada siapa saja di pasar yang telah disediakan oleh pemerintah. Tetapi karena
kecenderungan rakyat yang telah terbiasa dengan tanam paksa dimana mereka hanya
menanam saja, untuk mernjual tanaman yang mereka tanam tentu saja mengalami
kesulitan, sehingga mereka kemudian menyerahkan urusan menjual hasil pertanian
kepada para kepala-kepala desa untuk menjualnya di pasar bebas. Tentu saja hal
ini berakibat pada banyaknya korupsi dan penyelewengan yang dilakukan oleh para
kepala desa tersebut.
B.
TANAM PAKSA DAN SISTEM PERDAGANGAN
Pada
sistem sewa tanah, petani diberi kebebasan untuk menanam apapun yang mereka
kehendaki. Namun gantinya rakyat mulai dibebani dengan sistem pajak. Kebebasan
untuk menanam tanaman tersebut tidak dapat dilaksanakan di semua daerah di
pulau Jawa. Daerah-daerah milik swasta atau tanah partikelir dan daerah
Parahyangan masih menggunakan sistem tanam wajib. Pelaksanaannya di
Parahyangan, Inggris enggan untuk mengganti penanaman kopi karena merupakan
sumber keuntungan bagi kas negara.
Walaupun
demikian pada sistem sewa tanah tanaman kopi mengalami penurunan hasil. Selain
kopi, tanaman tebu juga mengalami kemunduran yang sama, sehingga pada sistem
sewa tanah pemerintah hanya mampu mengekspor kopi dan beras dalam jumlah yang
terbatas. Penurunan hasil-hasil tanaman ini dikarenakan petani Indonesia tidak
begitu mengenal tanaman ekspor.
Dalam
sistem sewa tanah, rakyat selain diberikan kebebasan untuk menanam, mereka juga
diberi kebebasan untuk melakukan perdagangan atau menjual tanaman mereka
sendiri di pasaran bebas. Sistem perdagangan ini tidak efektif karena penjualan
sering diserahkan rakyat kepada kepala desa mereka. Penyerahan penjualan kepada
kepala desa dikarenakan kurang pengalamannya petani dalam menjual
tanaman-tanaman mereka di pasaran bebas. hal ini mengakibatkan kepala-kepala
desa sering melakukan penipuan terhadap petani maupun pembeli, sehingga membuat
pemerintah terpaksa ikut campur tangan dengan mengadakan penanaman paksa bagi
tanaman perdagangan.
C.
KEGAGALAN SISTEM SEWA TANAH
Pelaksanaan
sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada
sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah
yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan
milik penduduk pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan
lama, hal itu di sebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk
tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi
Inggris di Indonesia. Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain
ialah:
Ø Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya
pengembangan pertanian.
Ø Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena
hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang
jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa
tanah tersebut.
Ø Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport
seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris.
Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian
sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga
penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk
meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum
disadari betul.
Ø Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme
dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motifasi masyarakat untuk memperoleh
keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.
Ø Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar
tidak di garap, dan dapat menurunkan produksifitas hasil pertanian.
Ø Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korupsi.
Ø Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga
ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.
Secara
garis besar kegagalan Raffles dalam sistem sewa tanah di Jawa terkendala akan
susunan kebiasaan masyarakat Indonesia sendiri. Dimana Raffles memberlakukan
sistem yang sama antara India yang lebih maju dalam perekonomiannya pada
Indonesia yang masa itu masih cukup sederhana dimana sifat ekonomi desa di Jawa
yang bersifat self suffcient.
Dampak dari sistem sewa tanah yaitu terjadinya perubahan sosial
budayapada bidang ekonomi pada masyarakat. Ditunjukkan dengan hilangnya unsur
paksaan atas rakyat dan digantikan dengan sistem suatu sistem hubungan ekonomi
antara pemerintah dan rakyat didasarkan atas sistem konstrak yang menyebabkan
perubahan sosial budaya yang menggantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional
dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar