1 Kronologis Konflik Kuil Preah
Vihear
Perselisihan mengenai Kuil Preah
Vihear sebenarnya bukanlah permasalahan kontemporer dalam hubungan bilateral
Kamboja dan Thailand. Masalah ini ditenggarai telah muncul sejak tahun 1949
ketika Kamboja berada di bawah kekuasaan Perancis. Perancis memperkarakan
kepemilikan Gunung Phra Viharn, tempat dimana Kuil Preah Vihear berada, yang
berusaha direbut Thailand. Semenjak itu, hubungan antara Thailand dan Kamboja
menurun secara drastis. Pada tahun 1958, Kamboja mengeluarkan beberapa klaim
atas kepemilikan Gunung Phra Viharn. Hal ini ditanggapi oleh Thailand dengan
mendeklarasikan keadaan darurat di enam provinsi yang berbatasan dengan
Kamboja. Kamboja pun tidak tinggal diam, pada tanggal 1 Desember 1958 Kamboja
memutuskan hubungan diplomatik dengan Thailand.
Setelah menempuh berbagai upaya
bilateral, Kamboja membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional (World
Court) pada 6 Oktober 1959. Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1962, Mahkamah
Internasional menyatakan bahwa Kuil Preah Vihear berada dibawah kekuasaan
Kamboja. Dalam waktu sebulan, Thailand mengeluarkan semua hal yang berhubungan
dengannya dari Gunung Phra Viharn termasuk tiang bendera Thailand. Namun,
Kamboja menyadari bahwa Thailand merupakan mitra yang strategis dalam hubungan
luar negerinya. Pada jangka waktu 1970 hingga 1975, Kamboja berusaha
memperbaiki hubungan diplomatik dengan Thailand lalu membuka Kuil Preah Vihear
sebagai salah satu objek wisata. Hal ini tidak berlangsung lama, pada tahun
1975 Kamboja dilanda perang saudara hingga tahun 1991. Peristiwa ini membuat
akses ke Kuil Preah Vihear menjadi terhambat. Akan tetapi pada tahun 1992,
Kamboja berusaha membuka kembali situs ini untuk pariwisata. Ketenaran kuil ini
sebagai salah satu objek wisata telah menyebar ke seluruh dunia sehingga ketika
konferensi UNESCO di Christchurch, New Zealand, tahun 2007, Kamboja
menominasikan Kuil Preah Vihear sebagai salah satu situs Warisan Dunia.
Tindakan Kamboja tersebut memicu
kemarahan pada pihak Thailand. Berbagai protes dari kalangan nasionalis
Thailand bermunculan. Hal yang serupa juga terjadi di Kamboja. Masyarakat juga
turun ke jalan dalam rangka membela klaim terhadap Kuil Preah Vihear. Akan
tetapi, pemerintah dari kedua belah pihak berusaha menempuh jalan perundingan
untuk menyelesaikan masalah ini. Perundingan tersebut mennghasilkan sebuah
komunike bersama dari kedua pemerintahan pada tanggal 18 Juni 2008 yang
menyatakan dukungan terhadap Kamboja untuk mendaftarkan Kuil Preah Vihear
sebagai salah satu Warisan Dunia.
Komunike yang berpihak kepada
Kamboja ini menimbulkan gejolak di dalam negeri Thailand. Menlu Noppadon
Pattama merupakan salah satu Menteri bermasalah yang menjadi sasaran dalam
perdebatan mosi tidak percaya terhadap PM Samak Sundaravej. Walhasil, PM Samak
turun tahta, lalu digantikan oleh PM Somchai. Pada awal Juli, kedua negara
mulai menempatkan tentara mereka di sekitar Kuil Preah Vihear. Kondisi ini
memicu ketegangan di kedua belah pihak. Namun pertemuan pejabat senior dari
Departemen Pertahanan masing-masing negara pada tanggal 21 Juli mengungkapkan
bahwa Thailand dan Kamboja setuju untuk tidak menggunakan kekerasan dalam
menyelesaikan masalah ini. Hal ini merupakan pernyataan yang cukup melegakan
karena pada saat itu Thailand telah menempatkan 500 personil tentaranya di
perbatasan, sedangkan Kamboja sekitar 1000 personil. Akhirnya pada bulan
Agustus, kedua belah pihak sepakat untuk mengurangi jumah pasukan yang berada
di perbatasan.
Akan tetapi, itikad baik dari kedua
negara tersebut tidak berjalan dengan lancar. Pada tanggal 3 Oktober 2008,
pasukan dari kedua belah pihak terlibat dalam baku tembak yang memakan korban
satu orang luka-luka pada tentara Kamboja dan dua orang pada tentara Thailand.
Masing-masing negara saling menuding mengenai pihak mana yang mendahului serangan.
Namun ketegangan ini kembali diredakan dengan perundingan antara Menlu Kamboja
Hor Namhong dan Menlu Thailand Sompong Amornwiwat di Pnom Penh pada tanggal 13
Oktober 2008. Keadaan kembali memburuk pada tanggal 15 Oktober 2008. Baku
tembak kembali terjadi antara pasukan Kamboja dan Thailand yang berada di
perbatasan. Baku tembak ini memakan korban meninggal dari kedua belah pihak.
Baku tembak ini dipicu pernyataan PM Kamboja Hun Sen agar pasukan Thailand
segera meninggalkan wilayah sekitar Kuil Preah Vihear, dan pernyataan Deplu
Thailand yang siap mengevakuasi sekitar 1500 warga Thailand yang berada di
Kamboja. Akhirnya, konflik antara kedua negara ini diredakan kembali dengan
pertemuan pada tanggal 24 Oktober. Pasukan dari kedua belah pihak akan berpatroli
secara bersama-sama di wilayah tersebut agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Selain itu, pemimpin dari kedua negara menyatakan bahwa perang telah usai dan
mereka lebih mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan masalah ini.
2 Konflik Kuil Preah Vihear dan
Asumsi Realisme
Konflik Kuil Preah Vihear merupakan
bukti bahwa realisme belum menjadi sebuah perspektif yang usang. Penulis
mencoba membuktikan bahwa asumsi yang dikemukakan oleh realisme masih relevan
dalam berbagai fenomena internasional. Berangkat dari kasus Kuil Preah Vihear,
asumsi yang diusung realis bisa dibuktikan keabsahannya. Asumsi yang pertama
yaitu negara bersifat egois dan berusaha mengejar kekuasaan dapat kita lihat
dalam konflik Kuil Preah Vihear di atas. Thailand merupakan negara yang
berbatasan langsung dengan Kamboja. Hal tersebut membuat Thailand memiliki
berbagai alasan untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Kamboja. Namun ketika
Kamboja mendaftarkan Kuil Preah Vihear sebagai salah satu Warisan Dunia,
Thailand merasa dirugikan. Kuil tersebut merupakan objek wisata yang cukup
kontributif dalam dunia pariwisata, apalagi akses untuk mencapai kuil
tersebut lebih mudah dilalui dari wilayah Thailand. Naluri untuk menguasai
objek wisata tersebut demi alasan pariwisata pun muncul. Tidak hanya itu saja,
dalam konflik ini Thailand juga ingin memperlihatkan kekuatannya di daerah Asia
Tenggara, Indochina khususnya. Hal ini terkait dengan perebutan pengaruh antara
Thailand dengan Vietnam atas Kamboja yang telah berlangsung lama. Dengan konflik ini, Thailand bisa memamerkan kekuatan yang
dimilikinya demi menunjukan harga diri dan menonjolkan pengaruhnya di Indochina.
Asumsi yang kedua berpendapat bahwa
politik dunia adalah anarki internasional yang bersifat konfliktual sehingga
penyelesaian konflik dilaksanakan dengan peperangan. Dalam tatanan politik
dunia internasional sekarang dapat dikatakan tidak terdapat semacam leviatan
yang bisa memunculkan keteraturan dalam interaksi hubungan internasional.
Walaupun ada PBB ataupun ASEAN untuk wilayah Asia Tenggara, akan tetapi prinsip
kedaulatan masing-masing negara tidak mengijinkan intervensi tanpa ijin
terhadap permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, Kamboja dan Thailand
memiliki wewenang penuh untuk menentukan jalan keluar seperti apa yang akan
mereka gunakan. Kita bisa melihat bahwa mereka memilih untuk menyelesaikan
masalah secara bilateral tanpa melibatkan pihak ketiga. PBB ataupun ASEAN
tentunya tidak bisa mengintervensi keputusan tersebut. Dan dengan keputusan
itu, tentunya masing-masing negara benar-benar bergantung pada kemampuan
bertahannya masing-masing.
Akan tetapi, asumsi realis kembali
terbukti di sini. Walaupun mereka telah melaksanakan beberapa kali perundingan,
baku tembak dan peperangan tetap saja tidak dapat dihindarkan. Malah
lama-kelamaan, korban yang jatuh dari baku tembak tersebut semakin meningkat.
Dari baku tembak pertama hanya korban luka-luka, meningkat hingga terdapat
korban meninggal. Hal ini menunjukan bahwa dalam berbagai kasus antar negara,
perang cenderung terjadi. Konsekuensi tersebut dikarenakan kondisi dunia yang
anarki, dan tidak terdapatnya suatu entitas pemegang kekuasaan yang mampu
mengatur tatanan dunia tersebut. Selain itu, adanya pola hubungan yang
konfliktual juga turut mendorong terjadinya perang.
Asumsi yang ketiga menyatakan bahwa
keamanan nasional dan kelangsungan negara merupakan poin penting dalam hubungan
luar negeri suatu negara. Dalam konflik ini, penulis melihat Thailand sebagai
pihak yang memperkeruh suasana. Tentunya hal ini dilakukan Thailand karena
suatu alasan yaitu stabilitas dalam negeri. Kita bisa merujuk kepada peristiwa
dimana pemerintahan Thailand yang dipimpin Samak mendukung Kamboja dalam
pendaftaran Kuil Preah Vihear sebagai Warisan Dunia. Keputusan tersebut
membantu kejatuhan Samak dari kursi Perdana Menteri. Akan tetapi, alasan utama
dari kejatuhan Samak adalah hubungannya dengan mantan PM Thaksin dan berita
bahwa Samak adalah anteknya Thaksin. Samak akhirnya digantikan oleh Somchai
yang, apabila kita teliti, merupakan kerabat dari Thaksin. Kondisi ini tentu
saja membuat posisi Somchai rawan untuk diturunkan pula dari tahtanya.
Bagaimana tidak, Samak saja yang dicap antek Thaksin lengser dari tahtanya,
apalagi Somchai yang nyata-nyata adalah kerabat Thaksin.
Dengan kondisi seperti itu,
pemerintahan Somchai berusaha mengalihkan perhatian masyarakat. Thailand
mengangkat isu Kuil Preah Vihear ini dalam rangka mengalihkan perhatian
masyarakat kepada munculnya sebuah musuh bersama yang datang mengancam. Ketika
setiap dinamika dalam perebutan Kuil Preah Vihear menjadi sorotan nasional
Thailand, tentunya masalah lain seperti gejolak anti Thaksin dan kroninya
menjadi terkesampingkan. Minimnya gejolak politik tersebut tentunya akan
berimplikasi kepada meningkatnya stabilitas politik dalam negeri. Dengan
tindakan ini, Somchai bisa menjaga stabilitas dalam negerinya, walaupun di sisi
lain, Somchai mengorbankan hubungan luar negerinya dengan Kamboja. Di sini
terlihat bagaimana isu kesatuan negara dan stabilitas nasional menjadi
prioritas negara. Di samping itu, secara pribadi Somchai juga mengamankan
posisinya sebagai Perdana Menteri.
Pendapat penulis bahwa Thailand
adalah pihak yang memperkeruh suasana juga bisa dipahami dengan melihat
kekuatan dari masing-masing negara. Thailand merupakan negara yang lebih maju
dan kuat jika dibandingkan dengan Kamboja. Dalam bidang militer, Thailand jauh
mengungguli Kamboja. Thailand memiliki 300.000 personil serta perlengkapan
senjata mutakhir yang tidak dimiliki Kamboja. Thailand juga memiliki pesawat tempur
F-16 dan sejumlah helikopter Blackhawk, sedangkan Kamboja hanya memiliki
beberapa pesawat tempur, seperti MiG-21, dan berbagai persenjataan dari Uni
Soviet, yang telah ketinggalan jaman. Dalam bidang ekonomi, memang terdapat
hubungan interdependensi antara kedua negara tersebut. Namun, karena kondisi
perekonomian yang lebih baik, Thailand tidak terlalu tergantung dengan Kamboja.
Akan tetapi, tidak begitu dengan Kamboja yang banyak mengimpor barang-barang
dari Thailand. Dengan kondisi seperti ini, tentu saja bukanlah tindakan
rasional jika Kamboja mencari-cari masalah dengan Thailand. Padahal dalam
realis, aktor negara adalah rasional. Apalagi menurut hukum internasional,
pemilikan kuil tersebut telah berada di tangan Kamboja. Selain itu, Kamboja
juga merupakan negara yang relatif stabil dan tidak membutuhkan pengalihan
perhatian terhadap musuh bersama demi menjaga stabilitas domestik. Malahan,
Kamboja sedang melaksanakan Pemilu ketika konflik ini berlangsung. Tentunya
konflik ini bisa menjatuhkan popularitas PM Hun Sen yang berkuasa saat itu,
walaupun pada akhirnya Hun Sen tetap terpilih kembali.
3 Konflik Kuil Preah Vihear
Sebagai Kebijakan Luar Negeri Thailand
Berdasarkan pembedahan konflik Kuil
Preah Vihear dengan pisau bedah realisme di atas, kita bisa menemukan bahwa
konflik Kuil Preah Vihear merupakan kebijakan luar negeri dari Thailand.
Ketepatan kebijakan luar negeri tersebut bisa kita teliti dengan mengaitkannya
dengan sasaran dari kebijakan luar negeri yang telah penulis kemukakan di Bab
Landasan Teori.
Untuk poin pertama kita dapat
memetakan bahwa alasan Thailand mengklaim Kuil Preah Vihear dan mengangkat
kasus ini ke publik adalah demi alasan ekonomi yaitu sebagai objek pariwisata.
Kuil Preah Vihear merupakan situs sejarah yang menarik banyak wisatawan setiap
tahunnya. Dan akses ke Kuil Preah Vihear lebih mudah dijalani dari sisi yang
merupakan kekuasaan Thailand. Jadi setiap tahun Thailand menyaksikan sendiri
betapa banyak wisatawan yang menumpang lewat ke wilayahnya untuk memasuki
kompleks Kuil Preah Vihear. Padahal Thailand sendiri adalah negara yang
terkenal dengan keunggulan pariwisatanya, tentu saja Thailand ingin menguatkan
dirinya sebagai tujuan wisata dengan memasukkan Kuil Preah Vihear sebagai salah
satu objek wisatanya. Apalagi dengan status sebagai salah satu Warisan Dunia
versi UNESCO, Kuil ini tentu akan sangat menjual. Jadi jelaslah bahwa alasan
yang pertama dari sikap Thailand ini adalah mendukung kepentingan ekonomi,
sesuai dengan poin kedua dari sasaran kebijakan luar negeri.
Alasan kedua yang melatarbelakangi
tindakan Thailand ini adalah terkait dengan perebutan pengaruh dan pameran
eksistensi di daerah Indocina. Thailand berusaha memperlihatkan kekuatan
militernya di daratan Indocina dengan tujuan membangun harga diri nasional dan
memamerkan kekuatan. Hal ini diharapkan dapat menggentarkan pihak-pihak yang
berpotensi menjadi ancaman dalam negeri Thailand. Dengan aksi baku tembak
dengan Kamboja di perbatasan, Thailand berusaha memperlihatkan alut sista dan
kemampuan militernya, tidak hanya kepada Kamboja, tetapi juga kepada dunia.
Jelaslah bahwa tindakan Thailand dalam mempermasalahkan klaim Kuil tersebut
juga berkaitan dengan poin keempat dari sasaran kebijakan luar negeri yaitu
melindungi harga diri nasional serta membangun kekuatan nasional, dalam hal
ini, berupa pengaruh dan hegemoni.
Alasan selanjutnya yang kita temui
dalam menganalisis kasus ini adalah kepentingan Pemerintah Thailand untuk
menjaga stabilitas dan persatuan dalam negeri. Stabilitas dan persatuan dalam
negeri tersebut dicapai dengan cara pengalihan perhatian masyarakat terhadap
adanya musuh bersama negara. Ketika musuh bersama dimunculkan, masyarakat
Thailand akan menggelora rasa nasionalismenya serta bangkit perasaan ingin
membela seluruh kekayaan dan aset bangsa. Perasaan dan perhatian tersebut
membuat masyarakat lupa—setidaknya teralihkan—dari isu politik Thaksin dan
kroni-kroninya. Hal ini, terbukti ketika gejolak kasus Kuil Preah Vihear muncul
ke publik, demonstrasi terhadap pemerintahan menurun dan digantikan dengan
demonstrasi yang menyuarakan pembelaan atas klaim Kuil Preah Vihear. Dan ketika
konflik ini telah mereda, Thailand kembali diguncang oleh instabilitas politik
yang berujung pada turunnya Somchai dari kursi Perdana Menteri. Alasan ini pun
sangat sesuai dengan poin pertama dan ketiga dari sasaran kebijakan luar negeri
yaitu menjag stabilitas dan keamanan negara.
Konflik Kuil Preah Vihear merupakan
bukti bahwa diplomasi tidak selalu menjadi pilihan utama dari suatu negara.
Pilihan utama dari suatu negara adalah yang paling menguntungkan bagi
kepentingan nasionalnya. Ketika diplomasi dianggap tidak lagi mengakomodasi
kepentingan nasional, Thailand menempuh jalan kekuatan untuk menggantikannya.
Dan terbukti bahwa kekuatan tersebut cukup memberi keuntungan terhadap
Thailand. Dengan jalan kekuatan dalam konflik ini, perhatian rakyat teralihkan
sehingga stabilitas dan keamanan dalam negeri menjadi terjaga.
Jadi, dapat kita simpulkan
berdasarkan hasil analisis melalui perspektif realisme serta kesesuaian dengan
berbagai aspek di dalam sasaran kebijakan luar negeri, serta upaya yang
ditempuh dalam menghadapi ketidakefektifan diplomasi, konflik Kuil Preah Vihear
memiliki hubungan dengan gejolak politik dalam negeri Thailand dimana konflik
terebut menjadi pengalih perhatian demi meredam gejolak politik yang ada.
Selain itu, sikap Thailand dalam konflik ini merupakan sebuah kebijakan luar
negeri yang tepat karena bersesuaian dengan empat dari lima sasaran kebijakan
luar negeri. Dan juga, tindakan ini merupakan bukti bahwa esensi dari diplomasi
yaitu perjuangan kepentingan dalam negeri memang hal yang amat penting.
Sehingga, ketika kepentingan dalam negeri merupakan tujuan utama walaupun
mengesampingkan perdamaian yang merupakan ciri sebuah diplomasi. Oleh karena itu,
jelaslah bahwa konflik Kuil Preah Vihear merupakan salah satu ketepatan dan
keberhasilan kebijakan luar negeri Thailand dalam rangka mencapai kepentingan
nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar