Historiografi Jawa yang
dikemukakan melalui Pararaton dan Babad Tanah Jawi adalah historiografi yang di
dalamnya menyampaikan dua nilai, yaitu fakta dan fiksi. Bagaimana kedua nilai
itu bisa disatukan adalah suatu kewenangan mutlak bagi penulis. Nilai fiktif
tersebut dapat kita lihat melalui mitos tentang struktur pemerintahan raja di
kerajaan-kerajaan Jawa, seperti Singasari, Mataram, Kediri dan Demak.
Anthony Jhon melihat bahwa dalam konsepsi Jawa, raja
memiliki peran besar dalam kehidupan masyarakat. Raja memiliki peran makro dan
mikrokosmis. Sebagai contoh adalah Ken Arok yang menjadi Raja pertama
Singasari. Dari apa yang tertulis dalam Pararaton, Ken Arok adalah anak dari
dewa Brahmana dengan manusia biasa. Kemudian Ken Arok hidup sebagai manusia
dengan lika-liku perjalanan hidupnya. Termasuk tindakan kriminal yang
dilakukannya. Kemudian Ken Arok bertemu dengan seorang Brahmana yang mengetahui
bahwa Ken Arok adalah keturunan dewa. Selanjutnya bertemu dengan Ken Dedes,
istri Tunggul Ametung dan higga akhirnya Ken Arok menjadi pemimpin dengan
sebelumnya melakukan “kudeta merangkak” (istilah yang digunakan
Pramoediya Ananta Toer dalam Novel Arok Dedes) terhadap pemerintahan
Tunggul Ametung.
Kisah Ken Arok tersebut secara gamblang menunjukkan
bahwa dalam konsep Jawa seorang anak dewa harus menjadi raja, walaupun dengan
sejarah gelap kehidupannya. Selanjutnya, karena raja adalah anak dewa, maka
rakyat harus mengikuti dan mengakui apapun yang dikatakan oleh raja. Kisah
selanjutnya yang menjadi contoh adalah kisah dari Babad tanah Jawi, tentang
Jaka Tingkir dan prosesnya menjadi raja kerajaan Pajang. Kenyataan tersebut
menunjukkan bahwa mitos dan symbol memainkan peran yang penting dalam
historiografi Jawa.
Menurut Sartono Kartodirdjo, “Mitos mempunyai fungsi
untuk membuat “masa lampau bermakna”, biarpun dalam mitos “tidak ada unsur
waktu, juga tidak ada masalah kronologi, tidak ada masalah awal dan akhir””[1].
Seperti apa yang dikatakan Sartono tersebut, kisah
yang ada dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi memang menjadi kisah yang
berperan besar dalam kehidupan masayarakat Jawa dan penulisan historiografi
Jawa, khususnya dan historiofrafi Indonesia kemudian. Masyarakat Jawa
menganggap cerita Ken Arok sebagai awal dari cerita-cerita raja dan kerajaan di
Jawa selanjutnya.
Historiografi Jawa melalui Pararaton dan Babad Tanah
Jawi, yang keduanya adalah karya sastra, merupakan bagian dari historiografi
tradisional. “Historiografi tradisional adalah historiografi yang diidentifikasi
sebagai produk ketika sejarah ditulis dalam tradisi besar masa lalu yang belum
membedakan antara realitas dengan legenda ataupun mitos”[2].
Karya sastra telah menjadi bagian yang integral dengan sejarah sebagai sebuah
tradisi. Oleh sebab itu sebagai sebuah tradisi, paling tidak ada empat fungsi
utama dari karya-karya sastra seperti itu. Pertama, sebagai alat dokumentasi.
Kedua, sebagai media untuk transformasi memori antar generasi. Ketiga, sebagai
alat untuk membangun legitimasi. Keempat, sebagai bentuk ekspresi intelektual[3].
Dari kisah Ken Arok dalam Pararaton, fungsi yang terlihat adalah sebagai alat
untuk membangun legitimasi. Untuk mengakui dan membesarkan nama Ken Arok
sebagai anak dewa Brahma yang menjadi Raja tanpa melihat sisi gelap dan
negative dari pribadi Ken Arok itu sendiri.
Kesimpulannya adalah karya sastra, hasil dari
historiografi tradisional tersebut memuat realitas yang disajikan dalam
imajinasi dan fantasi. Meskipun historiografi tradisional mengandung nilai
fiktif, tidak manusiawi dan tidak mengandung realitas masa lalu namun hasil
dari historiografi tradisional tetap menjadi bagian penting dalam penulisan
historiografi Indonesia selanjutnya, selama sejarawan mampu menggunakan
pemahaman metodologis dan pengetahuan subsatansi historis yang luas untuk
mengungkapkan realitas di dalam historiografi tradisional tersebut. Biarkanlah
historiografi Jawa dengan mitosnya sendiri, karena “dia” juga menjadi pelengkap
nas historiografi Indonesia modern sekarang ini.
Sumber Bacaan :
Bambang Purwanto. Gagalnya Hiistoriografi
Indonesiasentris?!, (Ombak : Yogjakarta, 2006)
Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan
Historiografi : Suatu Alternatif. (Gramedia : Jakarta, 1982)
[1] Sartono Kartodirdjo. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi :
Suatu Alternatif. (Gramedia : Jakarta, 1982), hal 16
[2] Bambang Purwanto. Gagalnya Hiistoriografi Indonesiasentris?!,
(Ombak : Yogjakarta, 2006), hal.98
[3] Ibid, hal 97-98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar