Di
awal tahun 1979, Ayatullah Ruhullah Khomeini memimpin sebuah revolusi
Islam menumbangkan penguasa monarkhi, Shah Pahlevi. Kemenangan rakyat
Iran ini adalah bencana besar bagi Amerika Serikat, karena hal ini sama
artinya dengan kehilangan sahabat karib. Terlebih lagi pemerintahan baru
yang dipimpin oleh kaum Mullah sangat anti-AS , bahkan Ayatullah
Khomeini menjulukinya ”Setan Besar”. Iran memiliki arti strategis bagi
AS sebagai negara penyangga untuk membendung wilayah Timur Tengah dari
pengaruh komunisme Uni Soviet, dan juga untuk menjamin keamanan sekutu
utamannya di wilayah kaya minyak tersebut, Israel.
Sejak berada dalam pangkuan pemerintahan Islam-Syiah, Iran
mengorientasikan kebijakan luar negerinya pada penyebaran nilai-nilai
revolusi Islam ke negara-negara Arab dan Islam agar kaum Muslimin
bangkit melawan para penguasa yang represif (dan sekuler). Cita-cita ini
terbukti dengan lahirnya gerakan-gerakan perlawanan di berbagai wilayah
konflik di Timur Tengah seperti Lebanon, Palestina dan Irak, tidak lama
setelah gelombang revolusi menyapu Iran.
Iran dan Konflik di Timur Tengah
Belum genap satu tahun pasca revolusi, pada September 1980 Iran harus
menghadapi gempuran dari pasukan Irak. Serangan tersebut dilakukan
karena penguasa Irak, Saddam Hussein (1979-2003), merasa khawatir akan
masuknya pengaruh Revolusi Islam Iran ke Irak dan negara-negara Arab
lainnya. Perang yang berlangsung selama delapan tahun ini membawa dampak
politik yang besar di Timur Tengah, karena memecah negara-negara Arab
ke dalam dua “poros”. Dua negara Arab "radikal", Libya dan Suriah,
berada di pihak Iran. Langkah kedua negara ini memang sangat berani,
karena Uni Soviet yang merupakan pensuplay utama persenjataannya berada
di pihak Baghdad. Untuk mengimbangi poros Iran-Libya-Suriah,
negara-negara Teluk membentuk GCC (Gulf Coooperation Council) yang
berangggotakan Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman dan Uni Emirat
Arab, sedangkan negara-negara Arab konservatif membentuk ACC (Arab
Cooperation Council) yang beranggotakan Mesir, Irak, Yaman dan Yordania.
Dalam krisis Teluk I ini, AS mendukung pihak Baghdad. Ini adalah
kesempatan AS untuk membalas dendam kepada Iran yang telah
mempermalukannya dengan aksi penyanderaan 52 staf kedutaan besar AS di
Teheran oleh sejumlah mahasiswa revolusioner pada November 1979. AS juga
menggandeng sekutu-sekutu Baratnya untuk membela Baghdad.
Konstelasi konflik juga terjadi di bagian lain Timur Tengah seperti di
Lebanon dan Palestina. Lebanon dan Palestina memang tidak berbatasan
langsung dengan Iran, namun ini tidak menghalangi Iran untuk ”campur
tangan” dalam konflik di kedua wilayah ini. Perang saudara di Lebanon
meletus pertama kali pada April 1975 antara golongan Muslim melawan
golongan Kristen. Akan tetapi pada perkembangannya, konflik cenderung
terjadi antarsesama golongan Muslim dan sesama golongan Kristen.
Keterlibatan Iran dalam konflik Lebanon adalah karena alasan
ideologis-politis. Iran banyak memberikan dukungan atas perjuangan kaum
Syi'ah di Lebanon yang walaupun mayoritas tetapi diperlakukan tidak adil
oleh pemerintah Beirut yang didominasi oleh golongan Maronit dan Islam
Sunni. Ketika terjadi eskalasi konflik, dukungan kuat Iran tertuju
kepada Hizbullah dan Amal Al-Islam. Kedua milisi bersenjata ini adalah
yang garis perjuangannya konsisten pada nilai-nilai Islam Syiah.
Hizbullah adalah kelompok yang dibentuk oleh Sayyid Muhammad Hussein
Fadhlalah. Gerakan yang sekarang dipimpin oleh Sayyid Hasan Nashrallah
ini memperoleh dukungan dana dan perenjataan dari Teheran, sehingga pada
saat ini Hizbulllah menjelma menjadi milisi bersenjata terkuat di
Lebanon. Pada Juni 1975, Imam Syiah Lebanon, Ayatullah Musa Al-Sadr
mendirikan Harakat Al-Mahrumin. Gerakan ini kemudian membentuk sayap
militer Amal (Afwaj Al-Muqawamah Al-Lubnaniyah). Setelah Imam Musa wafat
pada tahun 1978, Amal terpecah menjadi dua, yaitu Amal pimpinan Nabih
Berri yang berorientasi nasionalis-sekular dan Amal Al-Islam pimpinan
Hussein Al-Musawi yang ”fundamentalis-Islam” . Di samping itu, Iran juga
mendukung beberapa kelompok perlawanan lain seperti Jihad Islam,
Organisasi Keadilan Revolusioner (keduanya berpaham Syi'ah), dan Tauhid
(Sunni).
Selain Iran, Suriah dan Israel juga turut andil dalam konflik Lebanon.
Suriah menjadi penyokong milisi Amal dan Druze. Sedangkan Israel
bersekutu dengan Partai Nasional Liberal (NLP) dan SLA (South Lebanon
Army). Di samping itu, Israel sering kali terlibat pertempuran langsung
dengan milisi-milisi Islam. Pada Juli 2006, misalnya, Israel menyerbu
markas-markas Hizbullah di Lebanon Selatan.
Sejak runtuhnya rezim Saddam Hussein di Irak tahun 2003, Iran adalah
satu-satunya negara Timur Tengah yang konsisten dan aktif mendukung
perjuangan bangsa Palestina. Teheran sangat mendukung kelompok-kelompok
perjuangan "garis keras" Palestina seperti Hammas dan Jihad Islam.
Sementara itu negara-negara Arab sejak Perang 6 Hari Juni 1967 bersikap
kompromistis-individualis dalam menghadapi Israel. Mesir, misalnya, yang
pada waktu pemerintahan Gamal Abdul Nasser (1954-1970) menjadi pemimpin
negara-negara Arab dalam beberapa kali perang melawan Israel, akhirnya
"menyerah" ketika Presiden Mesir Anwar Sadat (1970-1981) menandatangani
Perjanjian Damai Camp David dengan Israel pada tahun 1979 untuk mengakui
eksistensi negara Israel dengan "imbalan" mendapatkan kembali Gurun
Sinai. Demikian halnya dengan negara-negara Arab Teluk yang semuanya
adalah sekutu dekat AS.
Kebangkitan Syiah di Irak
Irak adalah negara tetangga Iran yang 60-65% penduduknya berpaham Syiah,
namun politik dan pemerintahannya selalu dikuasai oleh kaum Sunni.
Bahkan sejak Saddam Hussein berkuasa, represi pemerintah terhadap kaum
Syiah semakin meningkat. Pada tahun 1980, misalnya, pemimpin Syiah Irak,
Imam Ayatullah Baqir Al-Shadr, dihukum mati bersama keluarga dan
sejumlah pengikutnya. Oleh karena itu, banyak sekali rakyat dan pemimpin
Syiah Irak yang melarikan diri ke Iran untuk mencari perlindungan, dan
menjadikan Iran sebagai tempat pembentukan dan basis gerakan subversif
terhadap rezim Saddam Hussein. Paling tidak ada empat kelompok oposisi
Syiah Irak yang berbasis di Teheran, yaitu SAIRI (The Supreme Assembly
of the Islamic Revolution in Iraq), Partai Dakwah Islam, Al-Mujahidin
dan Organisasi Aksi Islam. Hal ini kemungkinan karena kedua negara
saling berbatasan, serta adanya ikatan keagamaan sebagai sesama pemeluk
mazhab Syiah Itsna Asy’ariyah (Syiah Dua Belas Imam) .
Tumbangnya rezim Saddam Hussein mengakhiri penderitaan kaum Syiah Irak
dari represi rezim tersebut, namun menghantarkan pada ancaman baru yang
lebih besar, yakni Amerika Serikat. Keberadaan AS sebagai hegemon baru
di Irak menjadi musuh bagi para kelompok oposisi dan sayap militernya
yang dulu menentang Saddam Hussein, baik yang berbasis Sunni maupun
Syiah.
Di antara sekian banyak gerakan yang ada, yang paling keras melawan
pasukan AS di Irak adalah milisi bersenjata Syiah Tentara Mahdi (Jaisy
Al-Mahdi) yang dipimpin oleh Mullah Moqtada Al-Sadr. Tentara Mahdi yang
mendapat dukungan penuh dari Teheran memulai perang melawan pasukan AS
dan sekutunya sejak tahun 2004. Bahkan perjuangan mereka kini mendapat
restu dari pemimpin tertinggi Syiah Irak, Ayatullah Ali Al-Sistani
(sebelumnya Al-Sistani mendukung pemerintahan koalisi), serta dukungan
dari semua kelompok perlawanan Syiah, Kurdi dan Sunni.
Peta Pertahanan Iran
Prinsip politik luar negeri Iran pada era awal revolusi adalah La
Syarqiyyah, La Gharbiyyah (tidak timur, tidak barat). Akibat penerapan
prinsip tersebut, Iran diisolasi oleh ”dunia internasional” atas
propaganda AS. Hanya Suriah dan Libya yang sejalan dengan Iran dalam
perjuangan menentang AS. Suriah dan Libya mendukung Iran dalam
menghadapi aliansi Irak, AS, Uni Soviet, Barat dan Arab dalam Perang
Teluk I. Setelah Perang berakhir, Sang Pemimpin Besar Revolusi Islam,
Ayatullah Khomeini, wafat. Sejak itu Iran telah beberapa kali melewati
suksesi kepemimpinan, namun warna politik luar negeri Iran tidak
mengalami perubahan yang substantif. Iran hingga kini masih tetap
anti-AS dan anti-Israel.
”Ekspor” revolusi merupakan proyek utama pemerintahan revolusioner Iran.
Segitiga konflik Timur Tengah yakni Lebanon, Palestina dan Irak menjadi
target utama Iran dalam memberikan dukungan dan fasilitas bagi
gerakan-gerakan perlawan revolusioner. Di Lebanon dan Irak, faktor
ideologis-politis mendasari sikap andil Teheran dalam perjuangan
milisi-milisi Syiah seperti Hizbullah dan Amal Al-Islam melawan
pemerintahan sekuler-represif dan juga Israel. Sedangkan di Palestina,
yang mendasari kegigihan Iran membantu perjuangan bangsa Palestina
adalah semangat persatuan sebagai ummah, yakni ikatan sebagai sesama
umat Islam. Dengan semangat ini pula, Iran lebih jauh juga terlibat
dalam pergolakan-pergolakan Islam di belahan bumi lain seperti di
Bosnia, Afghanistan, Aljazair, Bahrain, dan Arab Saudi.
Prinsip La Syarqiyyah, La Gharbiyyah dan kebijakan ekspor revolusi
bukanlah semata sikap pragmatis kaum revolusioner Iran, namun ini adalah
strategi brilian dalam membangun citra dan peta pertahanan di masa
depan. AS yang telah sekian lama menaruh dendam terhadap Iran seperti
kehabisan akal untuk menghancurkan negeri kaum Mullah ini. Embargo
militer, ekonomi, pembekuan aset Iran di luar negeri dengan atau tanpa
Resolusi DK PBB, misalnya, tidak mampu menjegal Iran agar menghentikan
proyek nuklirnya. Kalau pun akhirnya AS terpaksa menggempur Iran, maka
tidak menutup kemungkinan poros Iran-Suriah-Libya akan kembali bangkit.
Iran juga dapat memainkan kartu Hizbullah, Amal Al-Islam, Hammas, Jihad
Islam dan Tentara Mahdi. Sebagai gambaran, dalam perang Juli 2006 antara
Israel-Hizbullah di Lebanon Selatan, Hizbullah berhasil memukul mundur
pasukan Israel. Sehingga untuk sekarang ini, Iran nampaknya masih
terlalu sulit untuk dilumpuhkan, bahkan bagi AS sekalipun. Iran kini
dapat menuai apa yang dulu pernah ditanamnya, kapan pun itu diperlukan.
Daftar Pustaka
Buku
Kazhim, Musa & Alfian Hamzah, Iran: Skenario Penghabisan, Jakarta: Ufuk Press, 2007.
Labib, Muhsin, Ibrahim Muharam, Musa Kazhim, Alfian Hamzah, Ahmadinejad:
David di Tengah Angkara Golath Dunia, Jakarta: Penerbit Hikmah (PT
Mizan Republika), 2006.
Mubah, A. Safril, Menguak Ulah Neokons: Menyingkap Agenda Terselubung
Amerika dalam Memerangi Terorisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Rahman, Mustafa Abd., Iran Pasca Revolusi: Fenomena Pertarungan Kubu
Reformis dan Konservatif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
Setiawati, Dra. Siti Mutiah, M.A. (ed), Irak di Bawah Kekuasaan Amerika:
Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat)
Indonesia, Yogyakarta:PPMTT IHI FISIPOL UGM, 2004.
Shihab, M. Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?:
Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, Tangerang: Penerbit Lentera
Hati, 2007.
Sihbudi, M. Riza, Bara Timur Tengah: Islam, Dunia Arab, Iran, Bandung: Penerbit Mizan, 1993.
--------------------, Eksistensi Palestina di Mata Teheran dan Washington, Bandung: Penerbit Mizan, 1992.
--------------------, Profil Negara-Negara Timur Tengah (Buku Satu), Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995.
Jurnal
GLOBAL: Jurnal Politik Internasional, Vol. 9, No.2, Desember 2007-Mei
2008. Diterbitkan oleh Depertemen Hubungan Internasional FISIP UI.
------------------------------------------------, 1991. Diterbitkan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar